Advertisement
Advertisement
Analisis | Pelaku Usaha Ringkih Tanpa Bantuan Pemerintah - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Pelaku Usaha Ringkih Tanpa Bantuan Pemerintah

Foto: Katadata
Pandemi Covid-19 memaksa pelaku usaha berjibaku untuk mempertahankan bisnisnya. Hanya 30% yang mampu bertahan tanpa bantuan pemerintah.
Dwi Hadya Jayani
21 September 2020, 11.49
Button AI Summarize

Pelaku usaha di Indonesia tersuruk selama pandemi Covid-19. Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia (BI) mencatat, saldo bersih tertimbang (SBT) kegiatan usaha terkontraksi 35,75% pada kuartal kedua 2020.

SBT adalah hasil perkalian antara saldo bersih dan bobot masing-masing sektor ekonomi. Saldo bersih didapat dari pengurangan persentase responden yang menjawab kinerja “meningkat” dan “menurun”. Hasil positif menunjukkan ekspansi. Sebaliknya, negatif menunjukkan kontraksi.

SBT industri pengolahan turun terdalam dengan -11,61%. Disusul sektor perdagangan, hotel, dan restoran -7,21%, dan jasa -4,49%. Penurunan SBT kuartal kedua 2020 memperpanjang kontraksi yang telah terjadi pada kuartal pertama sebesar 5,56%. Padahal BI sempat memproyeksikannya naik 2,13%.  

Hal itu terjadi lantaran pandemi Covid-19 telah mendisrupsi seluruh ekosistem dunia usaha. Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) periode 10-26 Juli menyatakan mayoritas pelaku Usaha Menengah Besar (UMB) dan Usaha Mikro dan Kecil (UMK) terkendala penurunan permintaan, rekanan terdampak, dan keuangan atau arus kas.

Pelaku usaha pun harus berjibaku menghadapi kondisi tersebut. Salah satunya dengan mendiversifikasi usahanya seperti menambah produk, bidang usaha dan lokasi bisnis untuk meningkatkan pendapatannya.

Hasil survei BPS menunjukkan 15 dari setiap 100 perusahaan melakukan hal ini. Langkah ini paling banyak dilakukan perusahaan di bidang industri pengolahan.

Langkah selanjutnya adalah memasarkan produknya secara daring. Perusahaan di bidang jasa pendidikan paling banyak melakukannya. Hal ini sejalan dengan kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang diterapkan pemerintah selama pandemi Covid-19.

Empat dari lima pelaku usaha yang memasarkan produknya secara daring mengaku berdampak positif terhadap kinerja penjualan. Bahkan, pelaku yang telah melakukannya sebelum pandemi Covid-19 mengaku pendapatannya lebih tinggi 1,14 kali.

“Pembatasan sosial mengakibatkan cara pemasaran konvensional terbatas. Sarana online menjadi solusi yang menjanjikan,” jelas BPS dalam laporannya.

Meski demikian, BPS mencatat hanya 5,19% pelaku usaha di daerah kabupaten beralih memasarkan produknya secara daring saat pandemi. Lebih rendah dari rasio pelaku usaha di wilayah perkotaan yang 7,12%. Perbedaan ini lantaran pelaku di kabupaten terkendala infrastruktur teknologi.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi