- Sejumlah startup seperti Zenius, LinkAja, dan JD.ID mendadak merumahkan ratusan pegawainya dalam sepekan terakhir.
- Rezim pengetatan likuditas seperti yang dilakukan The Fed membuat investor berhati-hati menggelontorkan uang yang membuat startup harus melakukan efisiensi.
- Strategi 'bakar duit' yang sering dilakukan startup kini tidak lagi relevan. Investor hanya akan melirik perusahaan rintisan yang stabil dan bertumbuh untuk membenamkan investasinya.
Agustinus–bukan nama sebenarnya–tidak punya prasangka buruk saat memulai aktivitas pada Senin (23/5) lalu. Ia terbangun, lantas mengikuti town hall meeting perusahaan seperti biasa. Pria asal Sumatera Utara itu telah bekerja sebagai programmer di platform edutech Zenius sejak Agustus 2021.
Town hall berlangsung singkat, tetapi berdampak besar terhadap ratusan karyawan Zenius. Dalam pertemuan itu, manajemen awalnya bercerita soal kondisi ekonomi global. Tentang krisis likuiditas di Amerika Serikat juga bagaimana akhirnya investor Zenius menahan dana perusahaan.
Sekitar setengah jam setelah town hall berlangsung, manajemen akhirnya mengumumkan rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Karyawan yang terdampak diminta mengecek e-mail soal detail pemecatan.
Nyaris seluruh karyawan terhenyak dengan keputusan itu. Agustinus merasa selama ini perusahaan sedang baik-baik saja. Sejak pertengahan 2021, Zenius bahkan telah melakukan rekrutmen besar-besar. Nyaris setiap pekan, wajah-wajah baru karyawan Zenius juga bermunculan. Tepat sepekan sebelum town hall, Zenius juga baru saja merekrut pegawai baru.
“Jadi betul-betul seperti petir di siang bolong,” kata Agustinus, kepada Katadata.
Kasak-kusuk di internal karyawan menyebutkan perusahaan merumahkan sekitar 200-an orang, termasuk Agustinus. “Saya kaget karena sebetulnya kerjaan kami lagi numpuk. Mau launching banyak fitur baru,” cerita Agustinus.
Agustinus selama ini yakin kondisi perusahaan sedang baik-baik saja. Selain proses rekrutmen yang terus berlangsung, Zenius juga baru saja memperoleh pendanaan dari MDI Ventures pada Maret 2022. Meskipun jumlahnya tidak diungkap ke publik, tetapi para karyawan meyakini angkanya cukup besar.
“Zenius bahkan baru saja akusisi Primagama. Jadi kami pikir keuangan perusahaan sedang bagus,” kata Agustinus.
Namun malang tak dapat ditolak. Agustinus dan 200-an koleganya resmi dipecat pada hari itu juga. Prosesnya berlangsung cepat. Para karyawan harus angkat kaki dari Zenius paling lambat akhir Juni 2022 ini. Para karyawan yang masih punya cuti tahunan diminta untuk menghabiskan cutinya sebelum meninggalkan perusahaan.
Agustinus cuma bisa pasrah menerima kabar pahit ini. Ia cuma berharap perusahaan menyelesaikan kewajibannya terhadap para karyawan yang dipecat. Manajemen menjanjikan para karyawan ini akan menerima pesangon sesuai ketentuan regulasi.
Dalam pernyataan resminya, manajemen Zenius beralasan perusahaan harus beradaptasi terhadap kondisi makro ekonomi yang kian memburuk. Para petinggi Zenius sepakat untuk melakukan konsolidasi dan optimalisasi proses bisnis. Salah satu caranya dengan merumahkan 200-an orang karyawan.
“Zenius memahami bahwa ini adalah masa yang sulit bagi karyawan yang terdampak, sehingga perusahaan akan melanjutkan manfaat asuransi kesehatan mereka hingga 30 September 2022, termasuk untuk anggota keluarga mereka," kata Manajemen Zenius, dalam keterangan resmi.
Tren PHK Karyawan
Langkah tegas Zenius ini segera diikuti oleh sejumlah startup lainnya. Aplikasi dompet digital LinkAja juga memutuskan untuk merumahkan ratusan pegawainya. Head of Corporate Secretary Group LinkAja Reka Sadewo mengatakan perusahaan ingin melakukan penyesuaian organisasi SDM.
"Apapun perubahan yang dilakukan dalam perusahaan tidak akan mempengaruhi kualitas layanan kami,” kata Reka.
Kebijakan serupa juga diterapkan oleh layanan e-commerce JD.ID. Alasan pemecatan karyawan juga tidak jauh berbeda. Perusahaan ingin melakukan restrukturisasi di tengah pengetatan likuiditas yang sedang terjadi.
PHK massal terhadap ratusan karyawan startup di Indonesia dalam sepekan terakhir memantik kekhawatiran baru soal model bisnis startup. CEO Mandiri Capital Eddi Danusaputro mengatakan startup memang harus melakukan efisiensi dalam kondisi saat ini. Strategi ini bisa dengan mengurangi anggaran marketing, menunda ekspansi, hingga melakukan PHK massal.
“Kami sebagai investor justru mengapresiasi founder yang berani mengambil keputusan efisiensi,” katanya kepada Katadata.
Menurut Eddi, investor saat ini akan sangat selektif. Pemodal misalnya, tidak akan mentolerir startup yang terlalu jor-joran menghamburkan uang. Investor akan lebih melirik perusahaan rintisan yang stabil dan tidak terlalu bergantung pada strategi ‘bakar duit’ seperti yang selama ini acap diterapkan.
Kendati demikian, Eddi menuturkan bukan berarti investor akan berhenti menggelontorkan dana kepada startup di Tanah Air. Namun, investor akan lebih berhati-hati dalam mengoleksi portofolio. Perusahaan-perusahaan yang masih di tahap early stage akan cenderung diabaikan. Sementara startup yang sudah stabil dan mulai bertumbuh akan tetap dilirik.
Kondisi ini menurut Eddi, akan berlangsung selama satu hingga dua tahun ke depan. “Ini bukan sesuatu yang sepenuhnya negatif. Ke depan, startup akan tumbuh secara organik,” kata Eddi.
Zombie Unicorn
Nun jauh di seberang samudera, sejumlah raksasa teknologi megap-megap di Silicon Valley. Kapitalisasi pasar Netflix misalnya, telah anjlok 70% sejak Desember 2021. Aplikasi video on demand ini juga telah merumahkan 150 orang pegawainya.
Produsen alat fitnes dan layanan instruktur digital, Peloton, bahkan mengalami kondisi yang lebih mengenaskan. Kapitalisasinya memang ‘cuma’ turun 44% sejak akhir tahun lalu. Namun, pada Februari 2022, perusahaan telah memecat 2.800 pegawainya.
Kondisi ini memunculkan istilah ‘Zombie Unicorn’ di dunia startup. Terminologi ini mengacu pada startup yang punya valuasi tinggi tetapi kondisinya sedang goyah. Perusahaan semacam ini membutuhkan uluran dana investor baru jika ingin bertahan.
Co-Founder sekaligus Managing Partner di Ideosource dan Gayo Capital Edward Ismawan mengatakan, perusahaan teknologi di Silicon Valley mengalami masa terburuk karena sejumlah faktor. Salah satunya, perusahaan tidak bisa tumbuh atau bertahan di tengah pandemi Covid-19 yang masih melanda.
Selain itu, kebijakan Bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed) yang menaikkan suku bunga acuan juga membuat likuditas menjadi sangat terbatas. Kondisi ini masih diperparah oleh kondisi geopolitik seperti konflik Rusia dan Ukraina yang meningkatkan kekhawatiran investor.
Menurutnya, faktor-faktor negatif tersebut bisa saja menimpa startup di Indonesia. "Sentimen bisa berpengaruh ke startup Indonesia, namun itu mungkin sesaat dan tergantung situasi," kata Edward kepada Katadata.
Sementara itu, Ekonom CORE Pieter Abdullah mengatakan pengetatan likuditas sejatinya hal yang lumrah dilakukan oleh bank sentral. Tidak hanya The Fed, kebijakan ini biasa dilakukan oleh banyak bank sentral di setiap negara untuk menekan inflasi yang terlalu tinggi.
“Kalau ditanya akan berlangsung berapa lama, ya sepanjang yang dibutuhkan. Tapi harus diingat, The Fed pernah menerapkan quantative easing [meningkatkan jumlah uang beredar] secara gradual. Jadi ini [pengetatan likuditas] tidak dilakukan secara drastis,” kata Pieter.
Pengetatan likuiditas inilah yang akhirnya membuat uang yang beredar menjadi terbatas. Minat investor terhadap investasi startup pun akhirnya menukik. “Euforia startup sedang turun. Investor akhirnya menyadari bisnis digital tidak seperti yang dibayangkan,” kata Pieter, saat dihubungi Katadata.
Menurut Pieter, investor akan lebih berhati-hari menggelontorkan uangnya. Di sisi lain, startup juga harus mulai berhenti melakukan strategi ‘bakar uang’ untuk mengakuisi pelanggan. Ke depan, hanya perusahaan yang efisien dan berorientasi pada keberlanjutan saja yang bisa bertahan.
“Kalau prospek sebetulnya masih sangat bagus. Bisnis digital adalah masa depan. Jadi startup akan tetap menarik,” ujar Pieter.