Credit: Katadata/Joshua Siringo Ringo

Penulis: Cindy Mutia Annur


Jakarta adalah salah satu ibu kota yang memiliki tingkat polusi udara terburuk di dunia. Kendati demikian, sebagian warga masih mempercayai udara Jakarta tidak sepenuhnya buruk. Hal ini terbukti dari hasil survei yang dilakukan Katadata Insight Center (KIC) pada Agustus 2021 lalu.

Kami merangkum sejumlah “mitos” yang dipercayai sebagian warga tersebut. Sebagai pembanding, kami menggunakan data yang dikumpulkan Nafas, startup penyedia aplikasi pengukur kualitas udara. Lantas, apa saja mitos-mitos tersebut?

MITOS 1: KUALITAS UDARA PAGI HARI PALING BAGUS

Keyakinan warga bahwa udara pagi di Jakarta dianggap paling bagus dibandingkan waktu lain. Sebab, udara masih terasa sejuk, kondisi lalu lintas masih sepi, dan minim polusi udara.

Hal ini yang mendorong animo masyarakat ibu kota untuk berolahraga, terutama sejak pandemi Covid-19 melanda. Biasanya, masyarakat melakukan olahraga antara pukul 04.00-09.00 WIB.

Hasil survei “Persepsi Masyarakat terhadap Kualitas Udara” yang dilakukan Katadata Insight Center (KIC) menunjukkan warga Jabodetabek setuju dengan persepsi tersebut. dari skala 1-10, skor persepsi berada di angka 7,94 poin.

Namun berdasarkan data yang dihimpun Nafas, kualitas udara di pagi hari justru terlihat lebih buruk dibandingkan sore hari. Rata-rata indeks kualitas udara (AQI) Jakarta pada pukul 04.00 WIB masing-masing memiliki skor 136 saat musim kemarau dan 74 ketika penghujan. Sementara, rata-rata AQI pukul 16.00 WIB pada musim kemarau dan hujan masing-masing sebesar 97 dan 63.

Kemudian skor rata-rata AQI antara pukul 04.00-09.00 WIB pada musim kemarau dan hujan masing-masing sebesar 132,8 dan 74,6. Sedangkan, skor rata-rata AQI Jakarta antara pukul 15.00-18.00 WIB sebesar skor 99,5 pada musim kemarau dan 67 pada musing penghujan.

“Ternyata tingkat polusi (udara Jakarta) di pagi itu jauh lebih tinggi (dibandingkan sore hari),” ujar Co-founder & Chief Growth Officer Nafas, Piotr Jakubowski kepada Katadata.co.id, Selasa 2 November 2021.

Piotr mengatakan, ada dua faktor yang menyebabkan kualitas udara pagi hari di Jakarta lebih buruk. Pertama, besarnya polusi udara di malam hari yang berimbas di pagi hari.

Jika bukan dari kendaraan, menurut Piotr, polusi udara di malam hari kemungkinan berasal dari aktivitas bisnis dan kegiatan lainnya. Misalnya, emisi pabrik atau pembangkit listrik. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 2.118 industri di Jakarta pada 2018.

“(Emisi kegiatan bisnis) itu jalannya terkadang sampai 24 jam, listriknya berjalan 24 jam. Jadi saat malam hari emisinya keluar,” ujar Piotr

Kedua, faktor meteorologi dan atmosfer. Pada malam hari, biasanya suhu udara menjadi rendah sehingga terasa sejuk. Selain itu, lapisan terendah atmosfer atau disebut planetary boundary level (PBL) menjadi lebih kecil atau menyusut pada malam hari. Hal ini menyebabkan semua polusi udara di malam hari terjebak di dalam lapisan atmosfer tersebut.

edus kualitas udara grafi 5

Piotr menjelaskan, kedua faktor ini kemudian berdampak pada kualitas udara di pagi hari. “Kalau dilihat dari datanya, kondisi ini mulai membaik ketika matahari keluar, karena suhu udara menjadi lebih tinggi, dan PBL kembali meningkat (mengembang),” ujar Piotr.

Maka dari itu, Piotr mengimbau masyarakat agar selalu memantau kualitas udara di luar sebelum berolahraga atau beraktivitas lainnya. Apalagi, ia melanjutkan, umumnya manusia bernapas lebih mendalam dan jauh lebih banyak saat berolahraga. Jika kualitas udara di luar sedang buruk, maka hal itu akan berdampak buruk bagi kesehatan.

MITOS 2: TEMPAT LEBIH “HIJAU” LEBIH MINIM POLUSI

Mayoritas warga percaya di lokasi yang “hijau” tidak ada polusi sebanyak tempat yang “tidak hijau”. Adapun maksud dari kata “hijau” yakni memiliki banyak pohon di daerah sekitarnya.

Hal ini juga terlihat dari survei KIC yang menunjukkan, persetujuan warga Jabodetabek sebesar 5,61 dari skala 1-10. artinya, lebih dari separuh responden percaya terkait mitos itu. Warga percaya bahwa tempat yang “hijau” lebih minim polusi karena lebih banyak pohon dan jauh dari kota.

Berdasarkan data Google Earth, wilayah Bodetabek nampak lebih “hijau” dibandingkan Jakarta. Hal ini menjadi anggapan bahwa Bodetabek lebih minim polusi dari ibu kota. Faktanya, berdasarkan data Nafas menunjukkan, kondisi itu tidak sepenuhnya benar karena rata-rata AQI Bodetabek justru lebih buruk dari Jakarta.

Sumber: Google Earth

Berdasarkan data per Oktober 2021, rata-rata AQI Jakarta memiliki skor 112. Sedangkan, rata-rata AQI Bodetabek memiliki skor 121.

Data Nafas lainnya menunjukkan, rata-rata AQI pukul 16.00 WIB di wilayah Cimanggis memiliki skor 170, Bogor Barat sebesar 166, dan Bumi Serpong Damai (BSD) sebesar 140. Sedangkan, rata-rata AQI pukul 16.00 WIB di wilayah Cipete Selatan sebesar 99, Wahid Hasyim 87, dan Menteng sebesar 88.

Piotr menjelaskan, penyebab adanya polusi udara di suatu tempat yang dianggap tidak memiliki sumber polusi bisa terjadi karena faktor angin. Sebab, angin dapat membawa udara hingga ratusan bahkan ribuan kilometer menuju tempat lain.

Ia mencontohkan, Singapura merupakan negara yang memiliki rata-rata kualitas udara yang baik karena tingkat polusinya rendah. Namun, terkadang negara itu harus menutup sekolah bahkan membawa warganya ke rumah sakit akibat polusi dari pembakaran hutan di Pulau Sumatra.

“Itu adalah bukti nyata bahwa sumber polusi udara yang sangat jauh bisa datang (ke suatu daerah lain),” ujar Piotr.

Selain itu, menurut Piotr, mitos bahwa pohon bisa menyegarkan udara layaknya pembersih udara sebenarnya kurang berdampak. Hal ini karena pada dasarnya daun di pohon tak bisa menyerap debu. Daun hanya mampu menyerap gas, sehingga tak bisa secara signifikan membersihkan debu PM 2,5 yang ada di udara.

Studi David J. Nowak et.al (2013) menunjukkan, penanaman pohon di 10 kota di Amerika Serikat dengan tingkat PM 2.5 yang tinggi tidak terlalu signifikan. Salah satunya adalah Atlanta, yakni peningkatan kualitas udaranya hanya sebesar 0,24% rata-rata tahunan.

“Jadi bisa dibilang (penanaman pohon untuk menyegarkan kualitas udara) itu tidak ada dampaknya sama sekali,” ujarnya.

Hal ini, menurut Piotr, wilayah yang tak ada sumber polusi dan terlihat banyak pohon di sekelilingnya bukan berarti kualitas udaranya bagus. Masyarakat tetap harus waspada dan rajin mengecek kualitas udara di sekitarnya

MITOS 3: TEMPAT YANG TAK ADA SUMBER DI DEKATNYA BEBAS POLUSI

Mitos ini berkaitan dengan polusi udara di luar ruangan yang dianggap tak berpengaruh ke dalam ruangan. Faktanya, data Nafas menunjukkan bahwa kualitas udara di dalam ruangan sama buruknya dengan di luar ruangan.

Contohnya, rata-rata AQI pada 25 Oktober 2021 pukul 01.00-24.00 WIB di dalam ruangan yakni sebesar 125,29. Sedangkan, rata-rata AQI pada tanggal dan waktu yang sama di luar ruangan sebesar 126,91.

Piotr menjelaskan, setidaknya ada dua faktor yang menjadi penyebab kualitas udara di dalam ruangan buruk. Pertama, adanya kebocoran udara dari luar ke dalam ruangan. Kebocoran udara dapat terjadi karena tingginya tingkat polusi dan suhu udara di luar ruangan.

Faktor kebocoran udara itu, ia melanjutkan, umumnya terjadi di negara-negara tropis seperti Indonesia. Hal ini terjadi ketika cuaca panas, warga kerap membuka jendela atau pintu rumahnya. Alhasil, polusi dari luar ruangan dapat dengan mudah mencemarkan udara di dalam ruangan.

Kedua, adanya senyawa berbahaya yang memiliki tekanan uap tinggi alias Volatile Organic Compounds (VOC) di dalam ruangan. Contohnya, bahan pembersih, cat dinding, parfum, dan sebagainya.

Adapun komponen VOC ini sangat mudah menguap dalam tekanan dan temperatur tertentu. Akibatnya, senyawa ini membuat udara di sekitarnya berbau bahkan beracun.

Selain itu, pembuangan emisi memasak di dapur dan aktivitas merokok juga dapat mempengaruhi buruknya kualitas udara di dalam ruangan. Piotr mengatakan, salah satu sumber polusi PM 2.5 di dalam rumah yang paling dominan yakni berasal dari asap rokok.

Menurutnya, ventilasi udara memang penting supaya sirkulasi udara di dalam ruangan lebih baik. Namun, hal ini sebaiknya tak dilakukan jika tingkat polusi udara di luar ruangan sedang buruk.

FAKTOR ALAM MEMPENGARUHI KUALITAS UDARA

Pada dasarnya, faktor alam turut mempengaruhi kualitas udara di Jakarta. Hal ini berhubungan dengan faktor geografi, arah angin, dan cuaca.

Berdasarkan faktor geografi, Piotr mencontohkan, polusi udara bergerak dari Jakarta Pusat atau Jakarta Selatan ke arah Bogor pada siang hari. Kemudian, angin membawa polusi tersebut kembali ke wilayah utara Jakarta pada malam hari.

Menurut Faisal, I & Sofyan, A (2019), pengaruh kualitas udara juga terkait dengan angin laut dan angin darat. Angin laut yang terjadi di siang hari, membawa polutan dari laut ke arah darat. Sedangkan, angin darat yang terjadi pada malam hari, membawa polutan dari daratan ke arah laut.

Selain itu, kota atau daerah di sekitar juga mempengaruhi kualitas udara di suatu wilayah. Hal ini dikarenakan angin membawa polusi ke satu tempat ke tempat lainnya. “Kalau polusi air ada hulunya, tapi kalau polusi udara tidak ada stream-nya (alirannya). (Polusi udara) it’s everywhere,” ujar Piotr.

Apalagi, menurut Piotr, krisis iklim yang tengah berlangsung juga mempengaruhi kondisi kualitas udara di Jakarta. Ia mencontohkan, beberapa lokasi di Jakarta yang dekat dengan sumber polusi, sedang mengalami cuaca hujan dan angin, maka dampaknya tidak akan sama persis atau sebesar dengan lokasi lain di sekitarnya.

“Jadi, (faktor-faktor) ini semuanya saling terkait,” ujar Piotr

SOLUSI MENGATASI POLUSI UDARA JAKARTA

Buruknya kualitas udara di Jakarta dan wilayah sekitarnya, dapat menjadi “cambuk” bahwa polusi udara adalah musuh kita semua. Sebab, hal ini dapat berimbas pada kesehatan di masa yang akan datang.

Oleh karena itu, masyarakat perlu mendorong pemerintah agar segera menangani sumber-sumber polusi yang ada di ibu kota. Misalnya, dengan mengadakan uji emisi mobil, pabrik, dan sebagainya.

“Kalau PM 2,5 tinggi, mau kita memasang taman seluas Amazon pun tidak akan berdampak terhadap polusi udara. Jika ada daerah tidak “hijau” dan tingkat polusi yang tinggi, kita harus meminta kepada pemerintah untuk menangani sumbernya,” ujar Piotr.

Meski demikian, ada sejumlah hal yang dapat dilakukan agar masyarakat dapat bertahan di tengah buruknya kondisi kualitas udara ibu kota. Pertama, masyarakat sebaiknya rutin memantau kualitas udara di sekitarnya. Salah satunya yakni dengan menggunakan aplikasi pengukur kualitas udara seperti Nafas.

Sebab, ada hari di mana kualitas udara di ibu kota membaik dan memburuk. “(Pemantauan kualitas udara) ini layaknya persiapan menyambut hujan. Banyak yang mengecek aplikasi cuaca, apakah perlu membawa payung atau tidak. Ini sama saja,” ujar Piotr.

Kedua, menghindari waktu yang lama berada di luar ruangan saat kualitas udaranya buruk. Misalnya, ketika tingkat AQI memiliki skor 175, maka sebaiknya masyarakat mengurangi waktu berolahraga atau aktivitas lainnya di luar ruangan.

Ketiga, pentingnya memakai masker ketika mengetahui bahwa kualitas udara di luar ruangan buruk. Piotr mengatakan, penggunaan masker N95 lebih efektif untuk menangkal polusi dibandingkan masker medis.

Keempat, menggunakan teknologi pembersih udara alias air purifier di dalam ruangan jika memungkinkan. Sebab, teknologi High-Efficiency Particulate Air (HEPA) dalam air purifier telah terbukti aman digunakan dan dapat menyaring polusi udara di dalam ruangan.

Tim Produksi

Koordinator

Aria W. Yudhistira

Penulis

Cindy Mutia Annur, Dimas Jarot, Monavia Ayu Rizaty, Ratri Kartika

Editor

Yura Syahrul, Aria W. Yudhistira

Desain Grafis

Lambok Hutabarat

Illustrator

Joshua Siringo Ringo

Produser

Ratri Kartika

Reporter

Dini Apriliana

Video Editor

Arfi Mustakim

Videographer

Wahyu Dwi Jayanto

Motion Grapher

Andriyansah

3D Animator

Timothy Adry Emanuel

Teknologi Informasi

Firman Firdaus, Mariana Garcia, Mohammad Afandi