Agar Rupiah Kuat, Turunkan Target Pertumbuhan

Image title
Oleh
10 September 2013, 17:09
industri-gedung
KATADATA
KATADATA

KATADATA ? Defisit transaksi berjalan (current account) merupakan penyebab utama melemahnya nilai tukar rupiah saat ini. Agar rupiah tidak semakin tertekan, menurunkan pertumbuhan ekonomi adalah salah satu solusi yang bisa dilakukan pemerintah.

Ekonom Standard Chartered Eric Sugandi mengatakan defisit transaksi berjalan disebabkan angka impor yang lebih tinggi dibanding ekspor. Hal ini merupakan masalah struktural dan sulit dihilangkan dengan cepat. Ekspor Indonesia terlalu bergantung pada komoditas energi, yang mencapai 60 persen. Sedangkan harga komoditas menurun dalam dua tahun terakhir. Hal itu ditambah melemahnya ekonomi China dan India. 

Menurutnya, harga komoditas sulit akan naik kembali karena adanya revolusi shale gas di Amerika. Shale gas adalah gas non-konvensional yang diperoleh dari serpihan batuan shale atau tempat terbentuknya gas bumi. Dengan adanya penemuan itu, permintaan sumber energi dari Amerika akan berkurang. Dengan ketergantungan ekspor komoditas itu, Indonesia akan sulit menggenjot ekspor untuk mengimbangi impor. "Masalah struktural itu bisa diatasi dalam waktu lima tahun," ujarnya.

Masalah kedua, Indonesia sangat bergantung terhadap impor barang mentah, dan barang modal untuk mengejar pertumbuhan yang tinggi. Sementara naiknya upah buruh tak sebanding dengan produktivitas buruh. Kenaikan upah buruh itu membuat investor bergeser ke investasi padat modal, bukan padat karya. Industri padat modal itu membutuhkan impor bahan baku yang besar, hingga membuat neraca perdagangan defisit.

Pada tahun 2011, neraca transaksi berjalan masih surplus US$1,7 miliar. Pada 2012 transaksi berjalan bergeser menjadi defisit US$24,4 miliar dan pada 2013 diperkirakan akan naik menjadi defisit US$ 26 miliar. Untuk triwulan II/2013 saja sudah terlihat defisit US$ 9,9 miliar. Sedangkan dari sisi transaksi modal, tahun 2012 tercatat US$25,1 miliar yang menolong neraca pembayaran tahun lalu sehingga menjadi surplus US$ 200 juta. Sedangkan pada tahun ini transaksi modal diperkirakan turun menjadi US$13,7 miliar. Sehingga neraca pembayaran diprediksi mengalami defisit hingga US$12,3 miliar.

Negara yang mengalami transaksi berjalan defisit akan mengalami pelemahan mata uang, seperti Indonesia, India, dan Brazil. Untuk membuat mata uang menarik, bank sentral masing-masing negara menaikkan suku bunganya. Dengan menaikkan suku bunga, maka pertumbuhan kredit akan menurun. Hal itu akan berdampak pada penurunan penurunan ekonomi, dan laju konsumsi yang berkurang. Selanjutnya hal itu akan mengarahkan pertumbuhan impor menurun. "Maka tekanan rupiah akan mengendur," tambah Eric.

Dalam kondisi tersebut, maka ekonomi Indonesia mencapai ekuilibrium baru. Jika sebelumya pertumbuhan ekonomi mencapai 6 persen, maka pertumbuhan ekonomi tahun ini hingga empat tahun mendatang menjadi 5,5-6 persen. Pertumbuhan ekonomi di bawah 6 persen itu dipandang tidak akan menyebabkan defisit transaksi berjalan semakin membengkak. Ketika transaksi berjalan masih surplus pertumbuhan ekonomi 6 persen mudah dicapai. "Namun dengan kondisi defisit, pertumbuhan ekonomi empat tahun lagi menjadi 5,5-6 persen," katanya.

Reporter: Nur Farida Ahniar
Editor: Arsip
    Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

    Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

    Ikuti kami

    Artikel Terkait

    Video Pilihan
    Loading...