Ini Sebab Deklarasi Capres Direspons Negatif Pasar
KATADATA ? Respons pasar sepertinya antiklimaks menghadapi hasil pemilihan presiden (pilpres) 2014. Ini ditunjukkan dari respons negatif pasar saat pendeklarasian dua pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada pekan lalu.
Pasar memang sampai hari ini masih menginginkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden terpilih pada 9 Juli mendatang. Hal ini sesuai dengan hasil survei terakhir yang menunjukkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) sebagai yang paling populer dibandingkan pasangan calon lain.
Berdasarkan survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), elektabilitas Jokowi-JK sebesar 35,42 persen. Sementara pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebesar 22,75 persen.
Dukungan pasar terhadap Jokowi terlihat ketika pengumuman pencapresannya pada 14 Maret lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ketika itu langsung naik 3,2 persen ke posisi 4.879 poin.
Namun perkembangan peta politik terkini tampaknya membuat was-was pelaku pasar. Ini terlihat dari merosotnya IHSG hingga 2,7 persen dalam dua hari perdagangan pada 19-20 Mei lalu setelah deklarasi pasangan capres dan cawapres.
(Baca: Pasar Khawatir Jokowi Kalah dalam Pilpres)
Turunnya indeks terutama diakibatkan gagalnya Jokowi dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) merangkul Golkar ke dalam gerbong koalisi yang dipimpinnya. Soalnya dengan dukungan 91 kursi Golkar di DPR, koalisi PDI-P akan menjadi mayoritas di parlemen. Hal ini sekaligus akan mengamankan kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Jokowi.
Pasar sempat merespons positif pertemuan Jokowi dengan Aburizal Bakrie di Pasar Gembrong, Jakarta Timur pada 13 Mei. Ini menandakan ada rencana koalisi kedua partai. IHSG pun naik 2,4 persen dan tembus angka 5.000 poin.
Akan tetapi perkembangan politik yang semakin cepat, membalikkan optimisme pasar. Golkar akhirnya justru merapat ke kubu Gerindra yang mengusung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Dengan dukungan Golkar, koalisi Gerindra memiliki 292 kursi di DPR atau 52,1 persen suara apabila terjadi voting dalam pengambilan keputusan di parlemen.
(Baca: Koalisi "Gemuk" Prabowo Bikin Panas Dingin Pasar)
Sementara tanpa dukungan Golkar, koalisi PDI-P hanya memiliki 37 persen suara atau 207 kursi di DPR. Bahkan apabila Partai Demokrat bergabung dalam koalisi tersebut, hanya menguasai 47,9 persen suara atau 268 kursi. Jadi mau tak mau, Jokowi mesti merangkul Golkar dalam koalisinya.
Di mata pelaku pasar, situasi ini menimbulkan ketidakpastian akan politik Indonesia ke depan. Program reformasi yang akan dilakukan Jokowi dinilai akan sulit terealisasikan.
Dengan menggandeng JK sebagai cawapres, memang memungkinkan Golkar akan berbalik arah mendukung Jokowi. Namun hal ini membuat posisi tawar JK sangat kuat terhadap Jokowi. Alhasil, peran JK sangat menentukan dalam memutuskan kebijakan sekaligus memilih orang-orang di dalam pemerintahannya.
?Kami mengkhawatirkan kemampuan Jokowi, jika dia memenangi pilpres, untuk mendorong reformasi serta memilih orang-orang yang memiliki kapabilitas di dalam kabinetnya,? sebut Maybank dalam risetnya belum lama ini.