BPK Bantah Ada Kepentingan Politik dalam Laporan Keuangan DKI 2013

Image title
Oleh
4 Juli 2014, 22:12
bpk-ri.jpg
KATADATA | Arief Kamaludin

KATADATA ?   Badan Pemeriksa Keuangan membantah adanya kecurigaan motif politik di balik pemberian opini wajar dengan pengecualian terhadap laporan keuangan DKI Jakarta 2013. Anggota V BPK Agung Firman Sampurna menegaskan BPK bebas dari  kepentingan politik.

"BPK itu bebas, mandiri dan independen. Kami bekerja berdasarkan kemahiran profesi, dan integritas," ujar Agung di Kantor BPK, Jumat 4 Juli 2014.

Advertisement

Laporan BPK itu semula dipertanyakan Pelaksana Tugas Gubernur DKI akarta Basuki Tjahaja Purnama yang mempertanyakan alasan BPK memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) pada laporan keuangan DKI pada tahun anggaran 2012. Alasannya pada saat kepemimpinan Fauzi Bowo banyak sekali masalah terutama terkait aset. Selain itu, independensi BPK kini juga tengah disorot akibat keterlibatan anggota BPK seperti Ali Masykur Musa menjadi tim sukses. (Baca: Terjun ke Politik, Anggota BPK Langgar Kode Etik)

Mengenai penghitungan aset, BPK sendiri menyatakan masalah pengelolaan aset yang dianggap bermasalah sebenarnya terjadi sejak lama. BPK pernah memberikan opini "diclaimer" untuk Pemrov DKI pada 2007 karena masih banyak aset yang belum jelas asal usulnya. Selanjutnya BPK merekomendasi dan menelusuri dengan melakukan sensus aset Pemrov DKI pada 2008. Status laporan keuangan DKI pada 2008-2010 sendiri wajar dengan pengecualian. Kemudian pada 2011 dan 2012 meningkat menjadi wajar tanpa pengecualian. Namun pada 2013 menurun kembali menjadi WDP.

Berdasarkan hasil sensus atas aset tetap dan aset lainnya, pada neraca 31 Desember 2012 tercatat Rp 342,28 triliun dan Rp 401,76 miliar. Menurut BPK pada 2013 terdapat koreksi tambah aset tetap senilai Rp 8,89 triliun dan aset lainnya sebesar Rp 24,93 triliun. Namun juga terdapat koreksi kurang aset tetap senilai Rp 32,16 triliun dan aset lainnya senilai Rp 152,14 miliar. Sehingga terhitung aset tetap 2013 menjadi Rp 319,01 triliun dan aset lainnya menjadi Rp 25,18 triliun.

"Disini terjadi pengurangan dalam jumlah signifikan di aset tetapnya," tambahnya.

Selain itu, kata dia, terdapat sejumlah permasalahan serius dalam pelaksanaan sensus, antara lain tidak dilakukan inventarisasi atas seluruh aset, kertas kerja koreksi sensus tidak memadai, serta aset yang belum selesai disensus tidak didukung rincian. Sehingga nilai aset tetap dan aset lainnya hasil sensus tidak dapat diyakini kewajarannya.

Agung juga menjelaskan dalam perhitungan BPK lainnya realisasi belanja ditemukan bukan berdasarkan bukti pertanggungjawaban yang telah diverifikasi, namun juga rekapitulasi uang muka yang disampaikan kepada bendaraha kepada pelaksana kegiatan. Realisasi belanja tersebut, tidak didukung dengan bukti pertangungjawaban yang lengkap sehingga terindikasi kerugian daerah senilai Rp 59,23 miliar dari belanja operasional pendidikan, kegiatan penataan jalan kampung dan biaya pengendalian teknis kegiatan.

Dihubungi terpisah, mantan auditor BPK Teuku Radja Sjahnan mempertanyakan apakah masalah bukti pertanggungjawaban tidak terjadi di 2012 apakah baru terjadi di tahun 2013 saja. Ia menganggap opini BPK sendiri semakin membingungkan. Temuan yang sama di satu daerah bisa membuat opini menjadi disclaimer, namun di daerah lain tidak berpengaruh. Ia mencontohkan laporan keuangan NTB 2012 dengan opini wajar tanpa pengecualian dimana penerimaan hibah di laporan realisasi anggaran tidak sesuai dengan catatan atas laporan keuangan. 
"Saya saja yang menganalisa 10 ribu lebih laporan BPK jadi bingung belakangan ini," ujar dia

Reporter: Rikawati
Editor: Arsip
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement