Sentuhan Tradisional Tahu Kupat Mbah Djawi
TUBUHNYA agak sedikit bungkuk. Bahu kanan dan kirinya pun tampak tak simetris, yang satu lebih rendah dari yang lainnya.
Bu Surati, yang kini berusia 54 tahun, mengisahkan bahwa kelainan tulang pada tubuhnya itu disebabkan oleh kegiatannya setiap hari selama berpuluh tahun mengulek bumbu dan sambal untuk sajian warung Tahu Kupat Mbah Djawi 1, miliknya.
Menurut ceritanya, ia sudah membantu usaha sang ayah sejak masih duduk di bangku kelas 2 SD?sebelum ia menikah dan pindah ke Jakarta. ?Karena terus ngulek, tulang belakang saya sampai bengkok,? ujar bu Surati yang juga akrab dipanggil bu Rati, saat ditemui di warung Mbah Djawi 1 di Jl. Sudagaran Kulon Banyumas, Jumat (20/2) lalu.
Ketika ditanyakan, kenapa tak beralih ke sistem yang lebih modern, misalnya menggunakan mesin penggiling atau blender, ia menjelaskan, ?Rasanya akan berbeda.? Karena alasan ini pula, ia hanya membatasi jualannya 100 porsi sehari. ?Kalau lebih dari itu, sudah tidak kuat.?
Ia kini memang sudah dibantu oleh putrinya, dan seorang pembantu lainnya. Tapi, melihat pengalaman ibunya, sang putri enggan untuk menggantikannya mengulek. ?Dia takut bongkok, seperti ibunya,? ujarnya. Meski begitu, Bu Rati tetap saja menolak untuk meninggalkan tradisi yang sudah dilakoninya berpuluh tahun ini.
Soal rasa, Bu Rati memang tak mau kompromi sedikit pun. Itu sebabnya, tak hanya soal cara mengulek, cara menggoreng tahu pun tetap menggunakan cara tradisional dengan menggunakan tungku kayu bakar. Asap yang mengepul dan aroma sangit inilah yang menjadikan tahu kupat Mbah Djawi memiliki rasa khas tersendiri.
Hal lain yang terus dipertahankannya, yaitu penggunaan kecap cap ?Riboet? khas Banyumas. Kendati serbuan promosi kecap merek-merek baru yang lebih modern terus menghampiri warungnya, ia tetap tak mau beralih. Alasannya, rasa kecap cap ?Riboet? tak tertandingi. ?Kecap lain ada rasa pahit dan berbusa,? katanya.
Keterbatasan tenaganya membuat bu Rati tidak ?ngoyo? untuk mengejar omzet, meskipun para pelanggan yang datang kerap kehabisan tahu kupat jualannya. Ia pun tidak menerima pesanan untuk berbagai acara. ?Tidak sanggup,? ujarnya. ?Seumur hidup, cuma sekali saya melayani pesanan untuk hajatan. Itu pun karena dia langganan lama.?
Lantas, jika ada pesanan ia hanya menyalurkannya ke warung Tahu Kupat Mbah Djawi 2, yang dikelola oleh Bu Karti, kakaknya. Jarak kedua warung ini memang tidak berjauhan.
Warung Mbah Djawi 2 yang terletak di sebelah barat Pasar Banyumas?persis sebelah utara Kelenteng Banyumas?hanya terpaut sekitar 350 meter dari warung Mbah Djawi 1.
Dari sisi pengelolaan, Warung Mbah Djawi 2 tampaknya memang lebih siap untuk memperluas skala usahanya. Upaya modernisasi pun dilakukan, antara lain dengan pemanfaatan teknologi informasi untuk kepentingan promosi.
Sebuah blog sederhana dua tahun lalu sudah dibuat oleh Winarko, cucu pertama Mbah Djawi yang juga putera pertama Bu Karti. Di situ disebutkan bahwa warung Mbah Djawi siap menerima pesanan tahu kupat untuk berbagai acara pesta.
Pesanan pun siap diantar. Meski disebutkan pula bahwa layanan ini baru sebatas wilayah Banyumas, Sokaraja, Purbalingga kota dan Purwokerto.
Bisnis UKM (Bagian 1): Berburu Tahu Kupat Warisan Mbah Djawi