Target Pajak Tak Tercapai, Defisit APBN Bisa Bengkak
KATADATA ? Pemerintah dinilai terlalu optimistis dengan memasang target penerimaan pajak sebesar Rp 1.294 triliun pada tahun ini. Berdasarkan data historis, kenaikan target sebesar 30 persen tersebut tidak realistis.
Ekonom DBS Group Gundy Cahyadi mengatakan, pada 2013-2014 misalnya, penerimaan pajak hanya tumbuh sekitar 8 persen, sementara pada 2008-2012 rata-rata tumbuh 15,6 persen.
Memang, lanjut dia, pada 2008 penerimaan pajak bisa tumbuh 30 persen setelah diterapkan kebijakan pengampunan denda pajak atau sunset policy. Namun, pada waktu itu harga komoditas masih tinggi, serta pertumbuhan ekonomi masih di kisaran 6,2 persen. Angka pertumbuhan ekonomi tersebut jauh lebih tinggi dari saat ini yang berada di kisaran 5 persen.
?Sementara menaikkan tarif pajak perusahaan dan pajak penghasilan tidak mungkin dilakukan sekarang. Kenaikan dikhawatirkan akan menimbulkan hambatan terhadap pertumbuhan ekonomi,? kata Gundy dalam riset yang dipublikasikan kemarin.
Lebih lanjut dia mengatakan, upaya khusus (extra effort) untuk menambah penerimaan pajak juga belum terlihat implementasinya. (Baca: Sunset Policy Akan Hadapi Banyak Kendala)
?Kekurangan dalam mengumpulkan pajak akan berimplikasi pada pengeluaran pemerintah. Kami menghitung, mungkin belanja harus dikurangi sampai Rp 220 triliun atau 2 persen dari produk domestik bruto (PDB),? ujarnya.
Dia memprediksikan, penerimaan negara hanya akan mencapai 85 persen dari target Rp 1.762 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2015. Alhasil, pemangkasan belanja harus dilakukan supaya defisit anggaran tidak membengkak.
?Kalau belanja tidak dikurangi, maka defisit anggaran menjadi 3,5 persen-4,4 persen dari PDB. Naik dibandingkan rencana saat ini yaitu 1,9 persen,? tutur dia.
Padahal sesuai undang-undang, defisit anggaran tidak boleh melebihi 3 persen. Bahkan dalam 10 tahun terakhir, defisit tidak pernah melebih angka 2,5 persen. (Baca: Ini Strategi Ditjen Pajak Kejar Penerimaan Rp 1.294 Triliun)
Presiden Joko Widodo, dia menambahkan, sudah memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM). Dengan demikian, kemungkinannya pemotongan anggaran akan dilakukan terhadap pos belanja pegawai dan belanja barang.
?Kalau pemerintah mengurang belanja modal, ini berisiko. Belanja modal atau pembangunan infrastruktur yang tertunda akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi sulit meningkat dalam jangka pendek-menengah,? ujarnya.