BPK Temukan Potensi Pajak Migas Bermasalah Rp 1,12 Triliun
KATADATA ? Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya masalah penerimaan pajak di industri minyak dan gas bumi (migas) senilai Rp 1,12 triliun. Hasil temuan ini telah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam laporan Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Semester II Tahun 2014.
Ketua BPK Harry Azhar Azis mengatakan masalah penerimaan tersebut adalah pajak bumi dan bangunan (PBB) yang belum dibayarkan oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas. Masalah ini terdiri atas potensi PBB terutang minimal sebesar Rp 666,23 miliar dan potensi kekurangan penerimaan PBB migas Tahun 2014 minimal sebesar Rp 454,38 miliar.
Masih di sektor migas, BPK juga menemukan ketidakpatuhan KKKS terhadap ketentuan penggantian biaya produksi (cost recovery). ?yang mengakibatkan kekurangan penerimaan negara senilai Rp 6,19 triliun,? ujar Harry dalam keterangannya Selasa (7/4).
Harry juga menyebut pihaknya menemukan masalah mengenai belanja infrastruktur di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sekitar 137 kontrak proyek pembangunan transmisi dan gardu induk terhenti. Berhentinya proyek ini membuat investasi senilai Rp 5,38 triliun mandek, dan tidak bisa dimanfaatkan.
?Selain itu, terdapat kerugian negara senilai Rp 562,66 miliar atas sisa uang muka yang tidak dikembalikan oleh para penyedia barang dan jasa.
Dalam laporan tersebut, BPK mengungkapkan 7.950 temuan yang terdiri atas 7.789 masalah ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan 2.482 masalah kelemahan Sistem Pengendalian Internal (SPI).
Masalah ketidakpatuhan diantaranya berdampak pada pemulihan keuangan negara sebesar Rp 14,74 triliun. Masalah yang langsung berakibat kerugian sebesar Rp 1,42 triliun, potensi kerugian Rp 3,77 triliun, dan kekurangan penerimaan Rp 9,55 triliun. Terdapat pula 3.150 masalah ketidakpatuhan yang mengakibatkan ketidakekonomisan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan senilai Rp 25,81 triliun.
Khusus pemeriksaan kinerja, BPK juga melakukan pemeriksaan kinerja atas efektivitas layanan paspor pada Kementerian Hukum dan HAM. Dari pemeriksaan tersebut, BPK RI menemukan adanya masalah dalam perubahan mekanisme pembayaran elektronik dengan Payment Gateway. Pemilihan vendor Payment Gateway, dilakukan pada saat tim dari Kementerian belum memiliki kewenangan dan rekening bank untuk menampung penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tidak memiliki izin dari Kementerian Keuangan.
Penyaluran subsidi beras untuk masyarakat miskin (raskin) juga belum sepenuhnya efektif. Pembaruan data masyarakat penerima manfaat tidak memadai, sehingga berisiko tidak tepat sasaran. Mekanisme pengujian kualitas beras raskin pun belum jelas.
Harry yang pernah menjadi Wakil Ketua Komisi XI DPR ini berharap setiap entitas negara yang diperiksa lebih kooperatif agar hasil audir BPK lebih maksimal. Dia juga meminta DPR untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja BPK dan entitas pemeriksa lain agar audit berikutnya dapat berjalan secara efektif.
Sepanjang periode 2010-2014, BPK telah menyampaikan 215.991 rekomendasi senilai Rp 77,61 triliun kepada entitas yang diperiksa. Dari jumlah tersebut, baru 55,54 persen yang ditindaklanjuti. BPK juga telah melaporkan hasil pemeriksaan yang menemukan 442 kasus yang mengandung unsur pidana kepada penegak hukum, senilai Rp 43,83 triliun.