Sistem Kerjasama Migas Non-Konvensional Akan Diubah
KATADATA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana untuk mengubah sistem kontrak untuk minyak dan gas bumi (migas) non-konvensional. Perubahan kontrak ini diharapkan bisa membuat investor tertarik untuk mengembangkan migas non konvensional seperti gas metana batu bara (coal bed methane/CBM) dan shale gas.
Menurut Kepala Unit Pengendalian Kinerja Kementerian ESDM Widhyawan Prawiraatmadja, sistem kontrak bagi hasil sudah tidak tepat lagi untuk diterapkan pada industri migas non konvensional. Akibatnya proyek migas non-konvensional masih belum bisa optimal.
Saat ini sudah ada 54 proyek kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) CBM. Namun hanya sedikit yang masih dikembangkan oleh KKKS, sedangkan sisanya ‘mati suri’. Belum lagi yang mengancam akan keluar dari Indonesia. Bahkan, belum ada satu pun investor tertarik menggarap proyek shale gas.
Makanya perlu adanya perubahan yang dilakukan agar iklim investasi menarik di mata investor. "Kalau tidak jalan kan berarti ada sesuatu. Ada salah satu ketentuan (kontrak kerjasama) yang kami perbaiki," ujar Widhyawan di Kementerian ESDM, beberapa waktu lalu.
Selama ini sistem kontrak kerja sama migas non-konvensional disamakan dengan migas konvensional, yakni dengan kontrak bagi hasil produksi atau production sharing contract (PSC). Saat itu pemerintah belum memiliki acuan kontrak kerjasama untuk migas non konvensional.
Ternyata dalam perjalannya, sistem PSC dianggap tidak ideal untuk diterapkan pada perusahaan migas non-konvensional. "Misalnya CBM. Kalau masih tahap dewatering, gasnya yang mengalir masih sedikit. Itu harus diapakan? Kalau menunggu profil produksi lengkap untuk menjadi Plan Of Development (rencana pengembangan), akan repot dan lama," ujar dia.
Untuk mengubah sistem kontrak ini, Kementerian ESDM dan pelaku industri migas tengah berdiskusi mengenai sistem yang tepat digunakan untuk migas non konvensional. Salah satu yang akan didiskusikan juga adalah besaran porsi pembagian antara pemerintah dan kontraktor.
"Indonesia Petroleum Association (IPA) kerjasama dengan Kementerian ESDM mencari skema yang menunjang supaya investasi baik. CBM butuh banyak hal yang berbeda dengan konvensional. Untuk bisa akomodasi aturan harus di-adjust," ujar dia.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amin Sunaryadi menyadari bahwa sistem kerja sama untuk industri migas non konvensional saat ini kurang tepat. Ini menjadi salah satu penyebab investor kurang tertarik pada industri ini. Kinerja perusahaan migas non-konvensional pun tidak sebaik perusahaan migas konvensional.
SKK Migas juga masih mengkaji sistem kerja sama seperti apa yang paling tepat untuk industri ini. "Sedang dibahas bagaimana sistem kerja sama yang tepat bagi perusahaan migas non konvensional," ujar dia.
Akhir tahun lalu sebenarnya pemerintah telah menjanjikan insentif dan mengubah kontrak agar lebih menarik bagi investor. Namun, hal ini belum juga terealisasi hingga sekarang. Padahal pengembangan migas non konvensional sangat potensial. Pengembangan shale gas di Amerika Serikat mampu membuat harga minyak turun, karena pasokan dunia melimpah. Terlebih untuk Indonesia yang telah mengalami defisit migas.
Data Kementerian ESDM menyebut potensi migas nonkonvensional sebenarnya lebih besar dari yang konvensional. Potensi shale gas Indonesia diperkirakan mencapai 574 triliun kaki kubik (TCF), lebih besar jika dibandingkan CBM yang mencapai 453,3 TCF dan gas konvensional yang hanya sebesar 153 TCF.