Pemerintah Genjot Pemakaian Biodiesel Melalui B20
KATADATA ? Pemerintah terus menggenjot pemakaian biodiesel melalui mandatori pemakaian bahan bakar nabati sebesar 15 persen (B15) tahun ini menjadi 20 persen (B20) pada 2016. Kenaikan tersebut untuk mendongkrak pemanfaatan energi terbarukan selain bahan bakar minyak dari fosil.
?Manfaat untuk negara dari sisi ketahanan energi lebih terjamin. Minimal, ketergantungan terhadap impor berkurang,? kata Direktur jenderal Energi Baru Terbarukan dan Ketahanan Energi (EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Rida Mulyana di Terminal Bahan Bakar Minyak, Cikampek, Selasa (8/9).
Menurutnya, dengan pengurangn impor solar tersebut pemerintah akan menghemat devisa US$ 2,71 miliar atau sekitar Rp 36, 65 triliun pada tahun depan. Angka itu diperoleh ketika volume biodiesel yang disalurkan mencapai 6,48 juta kiloliter atau setara 5,75 juta metrik ton minyak kelapa sawit (CPO). Terobosan ini pun diperkirakan meningkatkan harga CPO dunia hingga US$ 391 per metrik ton dan menyerap tenaga kerja lebih dari 6 ribu orang. ?Jika dicampur sawit akan mengurangi emisi juga. Dengan sendirinya harga Cruide Palm Oil (CPO) terkerek naik,? ujar Rida.
Program pemerintah dalam pemakaian biodiesel melalui mandatori B15 sebetulnya diluncurkan sejak kuartal kedua lalu. Walau pelaksanaannya molor, kali ini pemerintah optimistis penggunaan biodiesel berjalan lancar setelah mendapat dukungan dari Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Direktur Utama BPDPKS, Bayu Khrisnamurti, menyatakan alasan pertama kebijakan penerapan biodiesel ini untuk menjadi energi yang ramah lingkungan. Selain itu agar Indonesia dapat membangun ketahanan energi.
Untuk target penyerapan B15 tahun ini, menurut Direktur Pemasaran PT Pertamina Ahmad Bambang, sebesar 600 ribu kiloliter yang masuk dalam kewajiban pelayanan publik (PSO) dan 230 ribu kiloliter untuk non-PSO industri. Dengan kedua penyerapan sejumlah 830 ribu kiloliter tersebut, pemerintah bisa mengurangi kuota solar 2015 yang mencapai 4,8 juta kiloliter.
Sementara itu, 600 ribu kiloliter tersebut akan didistribusikan ke 31 kota utama seperti Samarinda, Surabaya, Batam, Sibolga, Lhokseumawe, dan Semarang. Saat ini terdapat 112 terminal yang tidak semuanya memiliki fasilitas blending. Karena itu, untuk depot-depot di daerah harus melakukan blending di terminal pusat seperti Terminal Baubau di Sulawesi.