Pemerintah Tolak Kembalikan PPN Kontraktor Migas Rp 1,8 Triliun
KATADATA ? Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, menolak pengembalian kembali (reimbursement) setoran pajak yang diklaim sejumlah kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) minyak dan gas bumi (migas) senilai hampir Rp 1,8 triliun. Alasannya, klaim reimbursement pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) periode Februari 2015 itu tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 218 tahun 2014 tentang tata cara reimbursement PPN dan PPnBM kepada kontraktor dalam kegiatan hulu migas.
Kepala Dinas Perpajakan dan Pungutan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) A. Rinto Pudyantoro menjelaskan, semua KKKS harus mengikuti tata cara dalam PMK 218/2014 agar klaim reimbursement-nya dibayarkan pemerintah. ?Bukan tidak dikembalikan, tapi harus mengikuti tata cara dalam PMK. Jadi, ada masalah waktu dan administrasi,? katanya kepada Katadata, Jumat lalu (11/9).
PMK 218/2014 diterbitkan pada 5 Desember 2014 untuk menggantikan PMK 64/2005. Ada beberapa syarat tambahan reimbursement PPN dan PPnBM yang bisa diklaim KKKS kepada pemerintah. Pemberlakuannya 60 hari sejak tanggal penerbitan peraturan, yang berarti mulai 5 Februari 2015. Jadi, sebelum batas waktu tersebut, reimbursement masih mengacu kepada ketentuan lama.
Pada 15 April lalu, Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Ditjen Anggaran (PNBP-DJA) mengembalikan surat tagihan reimbursement PPN dan PPnBM periode Februari 2015 yang diajukan KKKS melalui SKK Migas. Sebab, dokumen pendukungnya masih menggunakan ketentuan lama dalam PMK 64/2005. Nilainya mencapai Rp 1,77 triliun.
Menurut sumber Katadata di industri migas, kebijakan Ditjen Anggaran itu meresahkan para kontraktor migas. Pasalnya, mereka mengacu kepada surat edaran SKK Migas tanggal 24 Februari 2015 tentang tata cara pelaksanaan PMK yang disesuaikan dengan arahan Ditjen Anggaran. Yaitu, masa berlaku aturan baru tersebut berdasarkan tanggal pembuatan surat permohonan oleh kontraktor. Artinya, kontraktor yang mengajukan permohonan reimbursement kepada SKK Migas sebelum tanggal 5 Februari 2015 masih bisa memakai ketentuan lama dalam PMK 64/2005.
Sumber Katadata menyatakan, perbedaan penafsiran Ditjen Anggaran atas masa berlaku PMK 218/2014 yang menyebabkan permasalahan tersebut. Medio Januari 2015, SKK Migas sudah meminta klarifikasi kepada Ditjen Anggaran tentang masa berlakunya PMK. SKK Migas mengusulkan patokannya adalah tanggal pembuatan surat permohonan reimbursement oleh KKKS. Dalam balasan suratnya bertanggal 29 Januari 2015, Ditjen Anggaran menyetujui usulan tersebut.
Namun, tiga bulan berselang, Ditjen Anggaran punya pandangan berbeda. Dalam surat bertanggal 29 April 2015 kepada SKK Migas, Ditjen Anggaran menegaskan PMK 218/2014 jadi rujukan pelaksanaan reimbursement dan pengaturannya tidak dapat diinterpretasikan berbeda oleh kekuatan hukum yang lebih rendah. Dengan kata lain, Ditjen Anggaran hanya bersedia mencairkan reimbursement yang menggunakan PMK lama jika surat permohonan dari SKK Migas diterima sebelum 5 Februari 2015.
Rinto mengakui adanya dua versi pemahaman masa berlaku PMK yang disampaikan Ditjen Anggaran kepada SKK Migas. Namun, dia menolak menjelaskan secara rinci. Yang jelas, kata dia, SKK Migas hanya berpegang pada surat terakhir dari Ditjen Anggaran yang menyatakan PMK 64/2005 tidak berlaku lagi sejak 2 Februari 2015.
Alhasil, menurut sumber Katadata, klaim reimbursement periode Februari 2015 yang diterima pemerintah cuma Rp 1 triliun. Adapun klaim Rp 1,77 triliun tidak dikabulkan karena baru disampaikan kepada Ditjen Anggaran pada 30 Maret 2015. Tak cuma itu, SKK Migas menghentikan verifikasi klaim reimbursement senilai Rp 3,3 triliun meski telah diajukan KKKS sebelum 5 Februari 2015. Jadi, total nilai reimbursement yang gagal dicairkan gara-gara perbedaan pemahaman masa berlaku PMK 218/2014 sekitar Rp 5 triliun.
Hingga berita ini ditulis, Katadata belum mendapat konfirmasi dari Ditjen Anggaran maupun kontraktor migas yang klaim reimbursement PPN-nya bermasalah. Namun, Rinto memperkirakan, masalah ini bisa mengganggu arus kas kontraktor. ?Mungkin juga berujung pada protes dari kontraktor.?