Klaim PPN Ditolak, Pelaku Migas Minta Pemerintah Hormati Kontrak
KATADATA ? Pelaku usaha minyak dan gas bumi mempersoalkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 218 tahun 2014 tentang pembayaran kembali (reimbursement) pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dalam kegiatan usaha hulu migas. Dengan PMK ini, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas tidak bisa lagi mengajukan pembayaran kembali atas beberapa PPN yang sudah dibayarkan.
Ada beberapa ketentuan dalam PMK tersebut, nilai reimbursement PPN atau PPnBM paling tinggi sebesar bagian negara. Nilai ini tidak termasuk first tranche petroleum (FTP) yang diterima pemerintah. FTP merupakan hasil produksi migas dari suatu wilayah dalam satu tahun, sebelum dikurangi pengembalian biaya operasi dan penanganan produksi.
Reimbursement juga tidak bisa dilakukan pada PPN dan PPnBM atas pengadaan barang dan jasa yang tidak dapat dibebankan dalam biaya operasi. Kemudian PPN dan PPnBM yang terutang atas biaya operasional kilang gas. (Baca: Pemerintah Tolak Kembalikan PPN Kontraktor Migas Rp 1,8 Triliun)
Padahal sebelumnya, KKKS masih bisa melakukan reimbusement dari setiap PPN dan PPnBM yang sudah dibayarkan. ?Industri menginginkan pemerintah menghargai kontrak dan jangan mengeluarkan regulasi yang bertentangan dengan perjanjian di kontrak,? ujar Joint Venture & PGA Manager of Ephindo Energy Moshe Rizal Husin kepada Katadata, Rabu (16/9).
PMK 218/2014 ini terbit pada 5 Desember 2014 untuk menggantikan PMK 64/2005, tapi baru mulai diberlakukan pada 3 Februari 2015. Kementerian Keuangan memberikan masa transisi 60 hari agar KKKS masih bisa melakukan reimbursement dengan mengacu pada aturan sebelumnya.
Dengan adanya masa transisi ini, KKKS beramai-ramai mengajukan reimbursement. Menurut sumber Katadata di industri migas, total pengajuan reimbursement yang masuk ke Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencapai Rp 6 triliun. Namun, yang bisa terverifikasi dan masuk ke Kementerian Keuangan hanya Rp 2,77 triliun.
Ternyata dari semua klaim yang masuk ke Kementerian Keuangan, hanya Rp 1 triliun yang bisa cair. Pada 15 April lalu, Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Ditjen Anggaran (PNBP-DJA) mengembalikan surat tagihan reimbursement PPN dan PPnBM periode Februari 2015 yang diajukan KKKS melalui SKK Migas. Sebab, dokumen pendukungnya masih menggunakan ketentuan lama dalam PMK 64/2005. Nilainya mencapai Rp 1,77 triliun.
Kepala Dinas Perpajakan dan Pungutan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) A. Rinto Pudyantoro mengatakan masalah ini bisa mengganggu arus kas kontraktor. ?Mungkin juga berujung pada protes dari kontraktor.?
Dewan Penasehat Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan sebenarnya dalam kontrak bagi hasil produksi (production sharing contract/PSC) yang ditandatangani oleh kontraktor migas dan pemerintah, tidak menyebutkan ketentuan adanya pajak yang harus dibayarkan kontraktor. Namun, Undang-Undang (UU) Migas tahun 2001 menyebut ketentuan lain. Dalam pasal 31 disebutkan bahwa pelaku usaha migas wajib membayar pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Setahun sebelumnya, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2000 sudah menetapkan industri migas dikenakan PPN. Ketentuan ini diperkuat dengan (PMK) 11 tahun 2005 tentang penunjukan kontraktor migas untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM. PPN yang diatur dalam PMK tersebut adalah sebesar 10 persen dari dasar pengenaan pajak.
Menurut Pri pasal 31 dalam UU Migas yang mewajibkan perusahaan migas membayar pajak menjadi rancu. Karena kontrak migas dilakukan bukan dengan badan usaha, tapi dengan pemerintah melalui Satuan Kerja Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas).
?Yang berkontrak dengan KKKS bukan perusahaan (SKK MIGAS). Itu membawa efek KKKS menjadi subjek pajak secara langsung,? ujarnya.
Pemerintah mengatasi hal ini dengan menerbitkan PMK 64 tahun 2005 tentang reimbursement PPN dan PPnBM untuk pengusahaan migas. KKKS masih harus tetap membayar pajak, kemudian dikembalikan lagi oleh pemerintah.
"Kan beda orang bayar dulu dengan tidak membayar! Itu secara cash flow beda," kata Pri kepada Katadata, Rabu (16/9).