Penyebab Ekspor Indonesia Kalah dari Vietnam dan Thailand
KATADATA - Indonesia pernah disebut sebagai "macan Asia" karena pertumbuhan ekonominya melejit, lebih dari tujuh persen per tahun, pada 1980-an hingga pertengahan 1990-an. Namun, kondisi tersebut tak berlaku saat ini. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang dahulu di belakang Indonesia, sekarang menyalip.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, di tengah perlambatan ekonomi Cina, ekspor Indonesia tertinggal dari Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Penyebab utamanya, ketiga negara ini mengekspor produk manufaktur atau konsumsi, hal yang tidak dilakukan oleh Indonesia. Padahal, produk dua sektor tersebut merupakan permintaan utama impor Cina.
Menurut Bambang, ekonomi Cina sudah beralih dari bertumpu pada investasi menjadi konsumsi. Akibatnya, kondisi ini membuat permintaan impor komoditas dari Indonesia menurun. Sebagai gantinya, permintaan impor barang konsumsi Cin meningkat. Hal inilah yang membuat kinerja ekspor Vietnam, Malaysia, dan Thailand membaik.
Bambang menyatakan Indonesia pernah menjadi "macan Asia" ketika industri manufaktur berkembang pesat, terutama tekstil dan alas kaki. Kondisi seperti ini yang ingin kembali dicapai. Karena itu, pemerintah menegaskan sedang memperbaiki regulasi untuk mendorong gerak sektor manufaktur sebagaimana tercantum dalam paket kebijakan ekonomi yang dirilis sejak September lalu.
"Bukan pekerjaan mudah membangkitkan "macan" ini lagi. Kami luncurkan beberapa paket kebijakan untuk menangani ketidakpastian global dan mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menjaga daya beli dan memberi insentif ke dunia usaha. Kami harap bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang seimbang," kata Bambang saat menghadiri acara Indonesia Economic Quarterly yang diselenggarakan oleh Bank Dunia di Energy Building, Jakarta, Kamis, 22 Oktober 2015.
Namun dia sadar butuh waktu lama untuk mendorong industri manufaktur. Karena itu, paket kebijakan yang dikeluarkan juga diharapkan bisa mendorong penanaman investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI), terutama dari Cina. Misalnya, memanfaatkan peralihan perekonomian Negeri Panda tersebut dari investasi menjadi konsumsi.
"Ketika Cina bergeser menjadi berbasis konsumsi, maka demand (komoditas) ini menurun. Maka ada dua hal yang bisa dilakukan," kata Bambang. Dua hal tersebut yaitu mengembangkan manufaktur dan menggaet investasi asing secara terutama dari Cina.
Data Kementeran Keuangan mencatat realisasi penanaman FDI dari Cina tergolong paling rendah. Sebagai perbandingan, realiasai investasi Jepang mencapai 70 persen dari nilai komitmen, Taiwan 40 persen, serta Amerika Serikat dan Eropa masih di atas 30 persen. Sedangkan realisasi investasi Cina hanya 10 persen.
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia Ndiame Diop juga sepakat bahwa Indonesia harus mendorong industri manufaktur untuk meningkatkan ekspor barang konsumsi. Sebab, kondisi global saat ini memberi tekanan bagi eksportir komoditas, terutama karena pelemahan permintaan, utamanya dari Cina. "Kombinasi perlambatan ekonomi global dan penyeimbangan ekonomi di Cina bukan kondisi yang baik bagi pasar komoditas global," kata Ndiame.
Ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya 4,7 persen. Sedangkan tahun depan 5,3 persen. Ndiame mengakui, perkiraan pertumbuhan ini belum optimal bagi Indonesia. Jika pemerintah memperbaiki kebijakan untuk mendorong industri manufaktur dan investasi akan membantu Indonesia keluar dari tekanan ketidakpastian global. Bahkan, mendorong pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan seimbang.