Pembangkit dan Gardu Terbatas, Sebelas Daerah Defisit Listrik
KATADATA - Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Alihuddin Sitompul mengatakan ada 11 daerah mengalami defisit listrik per 28 Oktober 2015. Akibatnya, aliran listrik di belasan wilayah tersebut kerap mati.
Daerah tersebut tersebar di beberapa pulau, yaitu Aceh-Sumatera Utara, Sumatra Barat, Belitung, Bengkulu, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan Tenggara, Kalimantan Barat, Lombok, Jayapura, Kendari, hingga Sulawesi Utara. “Misalnya, di Aceh sering terjadi pemadaman tiga kali sehari. Seperti makan obat,” kata Ali di Gedung Ditjen Ketenagalistrikan Jakarta, Jumat, 6 November 2015.
Berbagai daerah yang mengalami defisit listrik dipicu oleh belum terrealisasinya sejumlah pembangunan pembangkit sehingga pasokan listrik minim. Apalagi beberapa gardu kerap “saki-sakitan” karena usianya yang sudah tua. (Baca juga: Target Pembangkit Listrik 35 GW Dinilai Sulit Tercapai).
Pulau Jawa-Bali yang biasanya tergolong aman, kata Ali, saat ini berada pada status siaga. Status ini merupakan daerah dengan cadangan listrik lebih kecil dari pembangkit terbesar. Pasalnya, sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Air kekurangan pasokan air selama musim kemarau ini. Idealnya, cadangan air di satu PLTA 30 persen. Dengan tak turunnya hujan dalam jangka panjang, cadangan di jawa ini cuma 1,74 persen. “Ini akan sangat berbahaya,” kata Ali.
Yang juga memperparah keadaan, pembangkit juga mengalami penurunan daya. Misalnya, satu pembangkit yang awalnya memiliki 1000 Megawatt, turun 2,5 persen menjadi 990 Megawatt. Setelah dilakukan rekondisi, daya pembangkit kembali turun dalam 10 tahun kemudian sehingga tinggal 950 Megawatt (MW). Kondisi ini disebut sebagai dereting. (Baca pula: Defisit Setrum dari Aceh - Papua).
Menurut Ali, selain Jawa-Bali, kawasan siaga tersebar di delapan wilayah, yakni Bima Sumbawa, Kupang, Sulawesi Selatan-Poso-Tentena, Palu, Tanjung Pinang, Batam, dan Bangka. Sementara itu, hanya tiga wilayah yang statusnya dinyatakan normal karena cukup memiliki cadangan listrik: Ambon, Nusa Tenggara Timur, dan Ternate.
Hingga kini, capaian rasio elektrifikasi baru 86,39 persen, sementara target akhir tahun naik menjadi 87,35 persen. Ali memprediksi dengan program pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW akan menambah rasio elektrifikasi menjadi 97,35 MW pada 2019
Hingga saat ini, baru ada 13 unit pembangkit yang dibangun PLN dan lainnnya dalam bentuk Independen Power Plant. Misalnya, Pembangkit Listrik Tenaga Mini Gas Pesanggaran di Aceh, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pangkalan Susu Sumatra Utara, PLTU Belitung, PLTU Ende, Pembangkit Listrik Tenaga Diesel di daerah perbatasan dan pulau terluar. “PLN berkontribusi 57 persen, sedangkan IPP sekitar 43 persen,” ujar Ali.
Sebelumnya, target pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW dikritik tak akan rampung pada 2019. Dari jumlah itu diperkirakan hanya 20 ribu MW atau sekitar 57 persen yang bisa terbangun. Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, ada beberapa kendala dalam proyek ini. Misalnya, terkait pendanaan yang diperkirakan mencapai Rp 1.094 triliun.
Persoalan lain yang bakal menghambat ialah dalam pembebasan lahan. Meskipun kontrak sudah ditandatangani, pembebasan lahan tidak bisa segera dilakukan. Padahal dana dan peralatan sudah disiapkan secara matang.