Efek Devaluasi Yuan dan Fed Rate, Rupiah Menuju 14.000 per Dolar AS
KATADATA - Perlahan namun pasti, mata uang rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Bank Indonesia (BI) menilai pelemahan rupiah lebih disebabkan oleh faktor eksternal, yaitu kebijakan bank sentral Cina dan bank sentral AS.
Di pasar spot, rupiah pada perdagangan Kamis ini (10/12) ditutup pada level Rp 13.953 per dolar AS. Jika dibandingkan dengan posisi pada awal bulan ini sebesar Rp 13.784 per dolar AS, berarti rupiah sudah melemah 1,22 persen. Bahkan, rupiah sempat menembus level Rp 14 ribu per dolar AS pada Selasa lalu (8/12). Berdasarkan kurs referensi JISDOR BI, rupiah sejak awal pekan ini juga melemah. Hari ini rupiah ditutup di level 13.954 per dolar AS atau melemah 0,9 persen dibandingkan awal pekan ini.
Gubernur BI Agus Martowardojo melihat, para investor valuta asing (valas) saat ini dalam posisi menunggu dan melihat (wait and see) kondisi pasar menjelang rapat bank sentral AS (Federal Reserve) pada 16 Desember mendatang. Rapat itu kemungkinan besar akan menaikkan suku bunga AS untuk pertama kalinya sejak krisis keuangan global tahun 2008. Kenaikan suku bunga AS ini akan memicu keluarnya dana-dana asing dari pasar negara berkembang (emerging market) sehingga berujung pada pelemahan rupiah.
Faktor lain yang menekan rupiah dalam beberapa hari terakhir ini adalah perlambatan ekonomi Cina dan kebijakan bank sentral Cina (People’s Bank of China/PBoC) kembali melakukan devaluasi renminbi. Rabu kemarin, PBoC melemahkan renminbi sebesar 0,02 persen ke level RMB 6,42 per dolar AS. Jika dihitung sejak Dana Internasional IMF memutuskan memasukkan renminbi dalam keranjang cadangan valasnya pada 1 Desember lalu, renmimbi sudah melemah 0,5 persen terhadap dolar AS.
“Saya lihat kalau saat ini ada tekanan lebih ke kondisi global menjelang FOMC (sidang The Fed) 16 Desember dan ekonomi Cina melemah,” kata Agus di Gedung BI, Jakarta, Kamis (10/12). Faktor lainnya, lanjut dia, adalah penurunan harga komoditas, terutama harga minyak dunia.
Menurut Kepala Ekonom PT Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih, pelaku pasar tidak menduga bank sentral Cina kembali melakukan devaluasi renminbi. Kebijakan tersebut menimbulkan kekhawatiran bahwa kondisi pertumbuhan ekonomi Cina sebenarnya lebih lemah daripada yang diumumkannya beberapa waktu lalu sekitar 7 persen.
Langkah melakukan devaluasi ketimbang melemahkan mata uangnya melalui kebijakan moneter tersebut menunjukkan pemerintah Cina membutuhkan langkah cepat untuk mendorong pertumbuhan ekonominya. Salah satunya dengan mendorong ekspor. “Kekhawatiran (pasar) makin besar. Apalagi emerging market itu motornya di Cina. Kalau begini artinya Cina betul-betul membutuhkan bantuan kursnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Agar ekonomi Indonesia tidak terus terombang-ambing oleh kondisi tersebut, Lana berharap pemerintah mencari jalan keluar dari ketergantungan terhadap perekonomian Cina. Apalagi, mayoritas barang dagangan Indonesia adalah komoditas yang harganya turut terpengaruh oleh perlambatan ekonomi Cina.