Sudirman: Surat 7 Oktober Bukan Perpanjangan Kontrak Freeport
KATADATA - Kabar persetujuan pemerintah atas perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia yang baru akan berakhir tahun 2021, kembali mencuat. Kabar tersebut muncul di tengah kasus kongkalikong dan calo perpanjangan kontrak perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) itu, yang diduga melibatkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto dan pengusaha minyak M. Riza Chalid.
Sejak dua hari terakhir beredar dua tautan siaran pers di media sosial, yang menunjukkan adanya persetujuan pemerintah untuk memperpanjang kontrak karya Freeport. Siaran pers pertama dilansir Freeport McMoran Inc., induk usaha Freeport Indonesia, yang dimuat dalam situs bursa Nasdaq, AS, 8 Oktober lalu.
Kedua, siaran pers Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dimuat dalam situsnya pada 9 Oktober 2015. Isi siaran pers Nomor 61/SJI/2015 berjudul “PT Freeport Indonesia dan pemerintah Indonesia menyepakati kelanjutan operasi komplek pertambangan Grasberg pasca 2021” sama persis dengan siaran pers manajemen Freport McMoran. Bedanya cuma siaran pers Kementerian ESDM itu dalam Bahasa Indonesia dan di bawahnya tercantum nama Plt. Kepala Pusat Komunikasi Publik Hufron Asrofi.
Dua tautan siaran pers tersebut mengundang kehebohan lantaran sesuai peraturan, perpanjangan kontrak karya Freeport baru bisa diberikan dua tahun sebelum masanya berakhir alias paling cepat tahun 2019. Namun, Menteri ESDM Sudirman Said membantah telah membuat keputusan perpanjangan kontrak Freeport. “Tidak ada keputusan perpanjangan kontrak yang diberikan pemerintah kepada Freeport,” katanya kepada Katadata, Kamis (10/12).
(Baca: Tiga Orang di Balik Rekaman Skenario Kontrak Freeport)
Pasalnya, menurut Sudirman, peraturan tidak membolehkan perpanjangan kontrak diberikan sebelum tahun 2019. Selain itu, “rezim” kontrak pertambangan saat ini sudah berubah dari Kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan (IUP). Ia pun meluruskan isi siaran pers Kementerian ESDM tanggal 9 Oktober 2015. Siaran pers itu menjelaskan kesepakatan Freeport Indonesia untuk melanjutkan rencana investasi meskipun status legal ke depan harus menunggu selesainya perubahan perundang-undangan.
Siaran pers Freeport McMoran pada 8 Oktober 2015 dan siaran pers Kementerian ESDM 9 Oktober 2015 sebenarnya mengacu kepada surat Sudirman kepada Chairman Freeport McMoran James R. Moffett bertanggal 7 Oktober 2015. Surat itu terdiri atas empat poin. Pertama, Freeport dapat melanjutkan kegiatan operasinya sesuai kontrak karya hingga 30 Desember 2021 di tengah proses penyelesaian aspek legal dan regulasi. Kedua, pemerintah telah menerima permohonan perpanjangan operasi Freeport melalui surat tertanggal 9 Juli 2015.
Ketiga, pemerintah akan menyelesaikan penataan ulang regulasi bidang mineral dan batubara agar lebih sesuai dengan semangat menarik investasi bidang sumber daya alam di Indonesia. Jadi, Freeport bisa segera mengajukan permohonan perpanjangan operasi pertambangan setelah berlakunya peraturan perundang-undangan tersebut.
Keempat, terkait permohonan perpanjangan kontrak, pemerintah dan Freeport telah berdiskusi dan menyepakati seluruh aspek dalam Naskah Kesepakatan Kerjasama yang diteken 25 Juli 2014. Pemerintah juga berkomitmen memastikan keberlanjutan investasi asing di Indonesia, namun karena perlu penyesuaian peraturan maka persetujuan perpanjangan kontrak Freeport akan diberikan segera setelah hasil penataan peraturan dan perundangan di bidang minerba.
(Baca: Sudirman Said: Tidak Ada Surat Perpanjangan Kontrak Freeport)
Menurut Sudirman, surat 7 Oktober itu sama sekali tidak menyebutkan adanya perpanjangan kontrak Freeport. “Surat itu juga sudah diketahui publik dan bukan hal yang baru,” katanya.
Kontroversi kabar pemberian perpanjangan kontrak Freeport oleh Sudirman ini sebenarnya sudah merebak pada Oktober lalu. Kala itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli mengkritik rencana Kementerian ESDM mengubah peraturan perpanjangan kontrak pertambangan. Seharusnya Kementerian ESDM tidak perlu tergesa-gesa mengambil keputusan memperpanjang kontrak tambang."Saya betul-betul kecewa mental pejabat seperti itu. Karena lobi berbagai kepentingan, dia mendorong supaya dipercepat negosiasi kontrak Freeport dan lain-lain," katanya, 7 Oktober lalu.
(Baca: Rizal Ramli: Jokowi Belum Setuju Kontrak Freeport Diperpanjang)
Rizal juga mengingatkan agar kejadian perpanjangan kontrak Freeport tahun 1991 tidak terulang lagi. Dimana pada saat itu ada pejabat yang diduga menerima suap sehingga memperpanjang kontrak Freeport tanpa memperbaiki syarat-syarat dalam kontrak.
Kala itu, Sudirman membantah kabar tersebut. Kepada Freeport, dia mengklaim, pemerintah hanya menyatakan komitmennya untuk menjamin investasi jangka panjang Freeport di Indonesia. “(Dalam surat tersebut) tidak ada kata-kata perpanjangan kontrak. Para pihak yang tidak paham harap menghentikan spekulasi tentang perpanjangan kontrak, karena itu sama sekali tidak benar," katanya.
(Baca: Transkrip Rekaman Lengkap Kongkalikong Lobi Freeport)
Di sisi lain, Sudirman tidak mempersoalkan langkah Setya Novanto melaporkan dirinya ke kepolisian dengan sangkaan pencemaran nama baik. Menurut dia, setiap warga negara berhak untuk menempuh langkah hukum. “Mari kita jalani proses sebagai sesama warga negara, dengan penuh keterbukaan dan kejujuran,” katanya.
Sekadar informasi, langkah hukum Setya tersebut terkait dengan laporan Sudirman ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR, 16 November lalu. Sudirman mengadukan Setya dengan dugaan pelanggaran kode etik anggota dewan lantaran turut membahas perpanjangan kontrak Freeport bersama pengusaha Riza Chalid dan Presiden Direktur Freeport Maroef Sjamsoeddin. Dalam rekaman percakapan mereka terungkap adanya skenario perpanjangan kontrak Freeport dengan iming-iming imbalan saham dan proyek.