Kontrak Blok East Natuna Masih Menunggu 2018
KATADATA - Pembahasan kontrak Blok East Natuna masih panjang. Pemerintah memperpanjang masa kesepakatan prinsip atau Principle of Agreement (PoA) di Blok East Natuna.
Masa PoA ini seharusnya berakhir pada 10 Desember 2015. Namun, pemerintah memperpanjang hingga 30 bulan hingga pertengahan 2018. Dengan adanya perpanjangan masa PoA, kontrak bagi hasil (PSC) di Blok tersebut belum bisa dilakukan sampai Juni 2018.
“PoA diperpanjang sampai 30 bulan untuk evaluasi ulang akibat tren harga minyak dunia yang turun,” kata Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto kepada Katadata, Senin (21/12). (Baca: Perpanjangan Blok Natuna, di Antara Kepentingan Amerika dan Cina)
Sejak diserahkan kepada PT Pertamina (Persero) pada 2 Juni 2008 melalui Surat Menteri ESDM Nomor 3588/11/MEM/2008, hingga saat ini belum ada kontrak bagi hasil untuk Blok East Natuna. Alasannya, keekonomian blok tersebut dinilai masih rendah. Pertamina bersama mitranya masih membahas syarat dan ketentuan untuk kontrak bagi hasilnya.
Dengan memperpanjang masa PoA, kata Djoko, Pertamina dan mitranya bisa menghitung kembali keekonomian blok tersebut sebelum PSC ditandatangani. Terlebih lagi saat ini harga minyak dunia terus merosot sejak pertengahan tahun 2014 lalu yang masih di atas US$ 100 per barel. Sebagi informasi, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) di pasar spot hari ini sudah menyentuh level US$ 34,53 per barel. Minyak jenis Brent berada pada level US$ 36,56 per barel. (Baca: Terendah Sejak 2009, Harga Minyak Tahun Depan Bisa US$ 20)
Blok East Natuna memiliki cadangan terbukti gas yang mencapai 46 triliun kaki kubik (TCF). Cadangan blok ini jauh lebih besar dibandingkan Blok Masela yang hanya memiliki cadangan 10,7 tcf. Masalahnya, blok ini memiliki kandungan karbondioksida (CO2) yang sangat besar mencapai 70 persen. Kandungan CO2 tersebut dapat merusak pipa. Makanya, Pertamina meminta perlakuan khusus untuk blok tersebut.
Pertamina sempat meminta beberapa insentif untuk menggarap blok ini. Pemerintah pun sudah menyiapkan beberapa insentif tersebut, salah satunya porsi bagi hasil yang lebih besar dibandingkan rata-rata blok migas lain.
“Insentifnya, splitnya jadi 55:45,” ujarnya. Ini berarti, porsi bagi hasil di blok tersebut adalah 45 persen untuk Pertamina, sisanya sebesar 55 persen untuk pemerintah. Biasanya bagi hasil untuk gas adalah 85 persen untuk pemerintah dan sisanya untuk kontraktor. Sementara untuk minyak 70 persen untuk pemerintah dan 30 persen untuk kontraktor. (Baca: Harga Minyak Anjlok, Pemerintah Siapkan Insentif untuk Hulu Migas)
Selain memiliki potensi cadangan yang besar, blok ini juga memiliki posisi yang sangat strategi bagi Indonesia. Terletak di perairan laut Natuna dan berdekatan dengan Laut Cina Selatan. Praktisi industri migas Gamil Abdullah keberadaan Pertamina sangat penting untuk kedaulatan Indonesia. Apalagi Cina mengklaim Natuna masih ke wilayah Cina.
Pertamina akan mengelola Blok East Natuna bersama mitranya yakni ExxonMobil, PTT Thailand dan Total E&P Indonesie. Pertamina memegang saham partisipasi blok tersebut sebesar 35 persen dan ExxonMobil 35 Persen. Sedangkan PTT dan Total, masing-masing 15 persen. (Baca: Investasi Pertamina Tahun Depan Tak Terganggu Harga Minyak)