Harga Gas Industri Turun, Penerimaan Negara Susut Rp 1,5 Triliun
KATADATA - Kebijakan pemerintah menurunkan harga gas untuk industri akan mulai berlaku Januari tahun depan. Di satu sisi, kebijakan tersebut akan menurunkan penerimaan negara. Namun, dalam jangka panjang, kebijakan itu akan membawa efek berantai terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan, payung hukum penurunan harga gas untuk industri akan segera diterbitkan pemerintah. Bentuknya adalah peraturan presiden (Perpres). “Tadi kami bahas Perpres harga gas, Januari mulai berlaku," katanya seusai rapat di Kementerian Koordinator Perekonomian di Jakarta, Selasa (22/12).
(Baca : Produsen Keberatan Jika Harga Gas Diatur Pemerintah)
Wiratmaja menghitung, kebijakan tersebut akan mengurangi penerimaan negara sebesar US$ 104 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun setiap tahun. Pasalnya, bagi hasil dari kontrak hulu minyak dan gas bumi (migas) yang diterima pemerintah otomatis akan berkurang.
Meski begitu, dia optimistis kebijakan tersebut akan menghasilkan efek berantai di masa depan. Penurunan harga gas diharapkan mampu menggairahkan kembali kegiatan industri, seperti industri baja. Kalau industri baja menggeliat maka akan berdampak pula ke industri atau sektor usaha yang menggunakan produk baja sehingga berujung pada peningkatan perekonomian.
(Baca : Penurunan Harga Gas Industri Bisa Hasilkan Efek Berantai Rp 137 Triliun)
Dalam draf Peraturan Presiden (Perpres) tentang harga gas tersebut, penurunan harga gas bervariasi. Untuk harga gas di hulu yang besarannya sekitar US$ 6 sampai US$ 7 per MMBTU, penurunannya sebesar US$ 1. Sementara penurunan harga gas di atas US$ 8, sebesar US$ 2 per MMBTU.
Untuk merealisasikan hal tersebut, pemerintah juga sedang merevisi perjanjian jual beli gas (PJBG). Saat ini Kementerian ESDM tengah mengkaji revisi harga atas 31 kontrak gas. Jumlah kontrak gas yang direvisi harganya kemungkinan masih bisa bertambah, mengingat masih ada beberapa lagi yang akan diseleksi.
Di tempat yang sama, Deputi Menko Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawady berharap kebijakan penurunan harga gas tersebut dapat dirasakan manfaatnya oleh pelaku industri kecil. Terlebih lagi industri yang selama ini menggantungkan usahanya pada pasokan bahan baku gas.
Saat ini ada empat jenisindustri yang diusulkan mendapat prioritas penurunan harga gas. Pertama, industri yang menggunakan gas sebagai bahan baku, seperti pabrik pupuk dan petrokimia. Kedua, industri strategis. Ketiga, industri yang menggunakan gas dalam proses produksinya. Jadi dalam pembuatan produk, fungsi gas tidak dapat digantikan. Keempat, industri manufaktur yang memiliki banyak pekerja. Namun, semua itu masih dalam tahap pembahasan oleh pemerintah. "Ini belum diputuskan," Imbuh Edy.
Harga gas yang mahal juga sempat dikeluhkan oleh Menteri Perindustrian Saleh Husin. Menurut dia, mahalnya harga gas membuat industri pengguna gas di dalam negeri sulit bersaing di pasar dunia. (Baca : Harga Gas Mahal, Industri Sulit Bersaing). Dia juga membandingkan harga gas di Indonesia dengan beberapa negara ASEAN. Harga gas di tiga negara ASEAN seperti Thailand, Singapura dan Malaysia, hanya sekitar US$ 4 per juta british thermal unit (mmbtu). Sementara di Indonesia, harganya bisa lebih dari US$ 8 per mmbtu.