Freeport Akan Lepas 10 Persen Saham Senilai Rp 23,5 Triliun
KATADATA - Di tenggat akhir, PT Freeport Indonesia akhirnya mengajukan penawaran divestasi saham ke pemerintah. Perusahaan tambang yang berinduk di Amerika Serikat itu mengirimkan surat kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tentang pelepasan 10,64 persen kepemilikannya. “Kami sudah menerima kemarin,” kata Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Bambang Gatot Ariyono, di Balai Kartini, Jakarta, Kamis, 14 Januari 2016.
Menurut Bambang, persentase saham yang dilepas tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegaiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam surat penawaran itu, Freeport menyatakan saham yang akan dilepas senilai US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp 23,5 triliun. Angka merujuk pada total nilai saham Freeport yang ditaksir US$ 16,2 miliar. (Baca juga: Divestasi Freeport, Pemerintah Wacanakan Gadai Saham).
Bila mengacu pada aturan pertambangan tadi, semestinya Freeport sudah menyampaikan penawaran divestasi pada akhir tahun lalu. Divestasi juga mesti ditunaikan jika berharap pemerintah memperpanjang kontrak yang akan berakhir pada 2021. Sebelumnya, dalam beleid lama, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pertambangan, Freeport semestinya melakukan divestasi 30 persen saham kepada pemerintah secara bertahap hingga 2019, dua tahun menjelang masa kontrak berakhir.
Ketetapan ini lalu diubah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014. Dalam Pasal 97 disebutkan bahwa kewajiban divestasi bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan setelah akhir tahun kelima sejak berproduksi paling sedikit 20 persen pada tahun keenam. Lalu 30 persen pada tahun ketujuh dan 37 persen tahun berikutnya. Kemudian, pada tahun kesembilan wajib melepas 44 persen dan 51 persen dari jumlah seluruh saham pada tahun kesepuluh.
Pelepasan saham ini juga mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam beleid ini, divestasi merupakan keharusan bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan atau dalam rezim yang lama sebagai pemilik Kontrak Karya. Karena pemerintah telah memiliki 9,36 persen saham Freeport, maka sisa kewajiban berikutnya menjual 10,64 persen paling telat Oktober 2015.
Namun hingga tenggat berakhir, Freeport tak kunjung mengajuakan penawaran. Pemerintah pun dua kali mengirimkan surat teguran kepada Freeport pada awal November dan Desember 2015. Masih mengacu pada Peraturan Pemerintah tadi, Freeport diberi waktu 90 hari untuk melakukan penawaran, yakni hingga 14 Januari 2016. (Baca: Kena Tegur Pemerintah, Freeport Masih Valuasi Divestasi Sahamnya).
Menurut Bambang, dengan penawaran senilai US$ 1,7 miliar ini, pemerintah akan melakukan evaluasi terhadap valuasi saham yang diberikan Freeport. “Kami akan melibatkan tim lintas kementerian. Pemerintah juga bisa membentuk tim independen untuk menilai saham tersebut, apakah besarannya demikian,” ujar Bambang.
Setelah hasil evaluasi keluar, pemerintah akan bertemu dengan petinggi Freeport untuk menyepakati nilai saham tersebut. Namun, Bambang belum memastikan kapan hasil evaluasi tersebut selesai. Ia hanya menyampaikan bahawa Kementerian Energi pun ingin secepatnya menyelesaikan masalah ini. (Lihat pula: Menteri Rini Siapkan Empat BUMN untuk Beli Saham Freeport).
Terkait Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pertambangan yang akan mengambil alih saham saham Freeport, hal itu masih dibahas lebih lanjut. “Biarkan mekanisme yang berjalan. Kami akan berikan ke Kementerian Keuangan sebagai bendahara pemerintah, siapa yang akan ditunjuk untuk melakukan pembelian,” kata Bambang.
Sementara itu, Menteri energi Sudirman Said menegaskan bahwa Kementerian hanya berfokus kepada jalannya regulasi. “Perihal membeli atau tidak, bukan di Kementerian Energi,” kata Sudirman saat ditemui pada kesempatan yang sama. (Baca: Jalan Berliku Kontrak Freeport)
Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno pernah menyiapkan dua perusahaan negara untuk membeli saham divestasi Freeport yaitu PT Aneka Tambang dan PT Indonesia Aluminium (Inalum). Mengacu pada Peraturan Pemerintah tadi, jika dalam 60 hari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota tidak berminat atau tidak memberi jawaban maka saham tersebut ditawarkan kepada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah secara lelang. Bila kedua perusahaan pelat merah ini tidak berminat maka akan dilelang ke swasta nasional.