Dua Kementerian Beda Pendapat Soal Pengurangan Ekspor Minyak
KATADATA - Dua kementerian berbeda pendapat mengenai rencana pengurangan ekspor minyak produksi dalam negeri. Keduanya adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Keuangan.
Kementerian ESDM mengusulkan untuk mengurangi ekspor dengan memaksimalkan produksi minyak untuk memenuhi kebutuhan kilang PT Pertamina (Persero). Pengurangan ekspor ini bisa berdampak pada berkurangnya impor minyak dan bisa menghemat devisa negara, yang diklaim mencapai US$ 3,8 miliar per tahun, atau sekitar Rp 50 triliun.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menganggap minyak mentah yang dihasilkan di dalam negeri tidak cocok dengan spesifikasi kilang Pertamina. Kilang di Indonesia hanya bisa mengolah minyak yang kualitasnya rendah, yakni jenis heavy dan sour. Jenis minyak seperti ini biasanya berasal dari Timur Tengah. Sedangkan minyak mentah yang diproduksi di dalam negeri berkualitas tinggi, yakni jenis light dan sweet.
Menyikapi pendapat tersebut, Menteri ESDM Sudirman Said justru berkata sebaliknya. "SKK Migas dan Dirjen migas sudah melakukan assessment (penilaian), sudah bicara dengan Pertamina. Memang (minyak dalam negeri) memenuhi spesifikasi yang kami butuhkan untuk kilang," ujar Sudirman, saat ditemui di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (14/1).
Memang tidak semua kilang Pertamina yang bisa mengolah minyak dalam negeri. Setidaknya dari sekitar 400.000 barel per hari minyak yang diekspor, setengahnya bisa cocok dengan spesifikasi beberapa kilang Pertamina. Kementerian ESDM dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sedang mengupayakan agar minyak jatah kontraktor yang biasanya diekspor untuk dijual ke Pertamina.
Saat ini sudah ada dua kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), yakni ExxonMobil dan Chevron yang sudah menyatakan setuju. Dua KKKS penyumbang lifting minyak terbesar ini siap menjual 120.000 barel minyak untuk kilang Pertamina. (Baca: Beli Minyak Chevron dan ExxonMobil, Pertamina Minta Bebas Pajak)
Masalahnya ExxonMobil dan Chevron tidak bisa menjual minyaknya secara langsung karena bergerak di sektor produksi. Untuk menjual, harus melalui perusahaan distribusi (trader) di Singapura, meski masih terafiliasi dengan perusahaannya.
Aturan di Indonesia, transaksi minyak melalui trader dari Singapura akan dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 3 persen. Artinya Pertamina bisa membeli minyak tersebut dengan harga mahal. Kementerian ESDM dan SKK Migas pun kemudian meminta Kementerian Keuangan untuk menghapus pungutan pajak tersebut.
Namun Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro terlihat enggan menyetujui permintaan ini. Pembelian minyak lewat trader memang harus dikenakan pajak. Jika tidak ingin terkena pajak, Pertamina bisa membeli minyak tersebut langsung dari kontraktor tanpa melalui trader.
Alasan untuk mengurangi ekspor dan impor minyak serta penghematan devisa pun belum bisa diterima Bambang. Minyak tersebut harus diekspor terlebih dahulu ke perusahaan trader-nya di Singapura. Kemudian Pertamina mengimpor lagi minyak ini melalui trader tersebut. Artinya tidak ada pengurangan ekspor atau impor. (Baca: Menkeu Persoalkan Penggunaan Trader Dalam Pembelian Minyak)
Dia malah mengatakan akan lebih menguntungkan jika Indonesia mengekspor minyak dan mengimpor kembali dari negara lain untuk kebutuhan kilang. Karena ada selisih keuntungan yang bisa didapat, mengingat harga minyak yang diproduksi dalam negeri lebih mahal dari yang diimpor.
Sudirman merasa perbedaan pendapat ini terjadi karena belum ada pembicaraan lebih detail antar kedua kementerian. Pihaknya bersama SKK Migas menyatakan akan segera membahas masalah ini dengan Kementerian Keuangan. “Bukan hal besar itu, akan ada solusinya,” ujar Sudirman.