Waspadai Efek Superdolar, BI Awasi Lindung Nilai Utang Swasta
KATADATA - Meski rupiah cenderung bergerak stabil di awal tahun ini, Bank Indonesia (BI) masih melihat potensi adanya tekanan terhadap mata uang tersebut. Kondisi ini bisa membahayakan perusahaan swasta yang menanggung utang dalam valuta asing (valas). Karena itu, bank sentral bakal lebih ketat mengawasi kewajiban lindung nilai (hedging) utang valas.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, potensi penguatan dolar Amerika Serikat (AS) sangat terbuka pada tahun ini karena perlambatan ekonomi Cina dan terus melorotnya harga minyak dunia. Sementara itu, kondisi ekonomi di AS semakin membaik yang terlihat dari kenaikan indeks kepercayaan konsumen.
Perbaikan kondisi ekonomi tersebut semakin menguatkan keyakinan bank sentral AS, yaitu Federal Reserve, untuk menaikkan suku bunga acuan Fed rate secara bertahap. Kebijakan itu akan membuat dolar AS semakin menguat terhadap mata uang negara-negara lain, termasuk rupiah.
Dampak lainnya, negara-negara yang pasarnya tengah berkembang (emerging market) perlu mewaspadai risiko rebalancing portofolio alias arus keluar dana investor asing ke AS atau portofolio-portofolio berbasiskan dolar AS. Hal itu setidaknya sudah terlihat dari dana asing yang masuk (capital inflow) sejak awal tahun ini ke pasar Indonesia tercatat Rp 5 triliun. Nilainya jauh lebih rendah dibandingkan pencapaian pada awal tahun sebelumnya yang bisa mencapai Rp 20 triliun.
Inilah yang bisa semakin menekan mata rupiah terhadap dolar AS. “Kami waspadai kalau ada superdolar AS,” kata Agus usai menghadiri acara “Mandiri Investment Forum” di Jakarta, Rabu (26/1). Untuk meminimalisir dampak pelemahan rupiah, BI akan fokus mengawasi utang valas perusahaan swasta dengan mematuhi skema lindung nilai.
Menurut dia, setiap bulan BI mengkaji kepatuhan prusahaan swasta terhadap kewajiban hedging. “Saya lihat perusahaan yang punya kewajiban (utang) jatuh tempo nol sampai enam bulan didukung hedging yang baik,” kata Agus. Ia merinci, 83 persen dari 2.400 perusahaan yang melaporkan utang luar negeri kepada BI, sudah melakukan hedging.
Namun, Agus masih melihat potensi penguatan dolar, terutama pada paruh kedua tahun ini. Optimisme itu mengacu kepada proyeksi Bank Dunia terhadap harga minyak yang akan kembali naik ke level US$ 37 per barel. Dengan begitu, proyeksi harga komoditas diperkirakan akan turut membaik sehingga mampu memperbaiki pertumbuhan ekonomi dari sisi ekspor.
Sebelumnya, Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo melihat, pelaku pasar memperkirakan bank sentral AS tidak akan agresif menaikkan Fed rate tahun ini. Semula Badan Kebijakan Moneter Federal Reserve alias Federal Open Market Committee (FOMC) menyebut Fed rate akan naik empat kali sebesar satu persen sepanjang 2016. Namun, pelaku pasar menaksir bank sentral AS hanya akan menaikkan Fed rate sebanyak dua kali sebesar 0,5 persen. Yakni masing-masing 0,25 persen pada Maret dan Juni mendatang. Taksiran itu berdasarkan kondisi belum terlalu kuatnya pemulihan ekonomi di negara tersebut.
Mengacu kepada makroekonomi, Perry optimistis investor akan kembali masuk ke pasar modal karena rilis ekonomi Indonesia akan membaik. Pertumbuhan ekonomi tahun lalu diperkirakan akan mencapai 4,75 persen. Sedangkan pada tahun ini, proyeksi pertumbuhan ekonomi sekitar 5,2 persen. Berbeda dengan tahun lalu, yang perekonomiannya melambat karena realisasi pengeluaran pemerintah seret.
Berdasarkan beragam faktor global dan domestik tersebut, Perry memperkirakan rupiah akan bergerak stabil selama paruh pertama tahun ini seiring kemungkinan penurunan bunga AS. Sedangkan pada paruh kedua, rupiah berpotensi menguat terhadap dolar AS.