RUU Migas Masih Minim Pembahasan di DPR
KATADATA - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) masih belum mengalami banyak perkembangan. Meski sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun lalu dan tahun ini, tapi pembahasannya selama ini masih minim.
Hal tersebut mengancam keberadaan RUU yang akan merevisi UU Nomor 22 Tahun 2001. Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Gus Irawan Pasaribu mengatakan saat ini perkembangan RUU Migas masih dalam penyusunan isu-isu strategis di tingkat fraksi. Setelah itu baru di bawa ke komisi, agar pembahasannya tidak terlalu melebar hingga menjadi draf final.
(Baca: Tiga Tahun Molor, SKK Migas Desak DPR Rampungkan RUU Migas)
Gus juga berharap agar pembahasan RUU di komisinya bisa segera selesai. Masalahnya tidak hanya RUU Migas yang dibahas di komisi VII. Makanya Gus mengusulkan dibentuk panitia kerja (panja) untuk membahas setiap Undang-Undang. Misalnya Panja terkait RUU Migas dan Panja RUU Mineral dan Batu Bara. "Supaya paralel bisa berjalan. Tidak menunggu satu selesai baru bahas satu lagi," ujarnya.
Menurut dia, ada satu poin penting yang menjadi isu krusial yang akan dimasukan dalam draf RUU tersebut, yakni mengenai fungsi dan keberadaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Pembahasan isu ini cukup menyita waktu yang panjang.
Anggota lain pun menyatakan hal yang sama. Salah satunya Kurtubi, dari Fraksi Nasdem yang mengatakan fokus utama pembahasan RUU migas terletak pada keberadaan SKK migas ini. Dalam naskah akademik yang ada saat ini, isinya masih seputar pembentukan lembaga seperti SKK migas.
Kurtubi mengatakan, pembahasan beleid ini masih sangat dini dan masih membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menyelesaikannya. "Padahal letak kesalahannya cuma disitu (kelembagaan SKK Migas)," ujarnya. (Baca: Bahas RUU Migas, DPR Usulkan Pembubaran SKK Migas)
Masalah kelembagaan ini belum juga bisa diselesaikan sejak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 menganggap Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). BP Migas kemudian digantikan dengan SKK Migas melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013.
Selain keberadaan SKK migas, Kurtubi memiliki beberapa usulan lain untuk dimasukkan dalam pembahasan RUU Migas. Pertama, kuasa pertambangan tidak boleh berada ditangan pemerintah, tetapi ditangan perusahaan migas negara. Perusahaan ini yang berkontak dengan investor dengan pola business to business.
Kemudian, mewajibkan PT Pertamina (Persero) membangun kilang untuk pemenuhan kebutuhan BBM nasional. Melarang pelaku usaha distribusi (trader) dalam transaksi migas dalam negeri dan terakhir, membuka akses distribusi penjualan BBM seluas-luasnya, namun izinnya tetap ditangan pemerintah dan Pertamina.
Terkait pembahasan RUU Migas, banyak pihak yang mencoba memberikan masukan. Salah satunya Komite Eksplorasi Nasional (KEN) yang mengusulkan paradigma migas harus diubah, tidak lagi sebagai komoditas yang menghasilkan pendapatan. Tapi sebagai bahan galian strategis untuk pertahanan negara. Makanya eksplorasi dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam konteks ketahanan nasional dan kemandirian energi.
Kemudian dalam UU migas ini pengawasan pertambangan dipusatkan pada Kementerian yang membidangi usaha pertambangan dan minyak bumi. Lalu, data pencarian dan pengembangan migas bukan merupakan sumber pendapatan negara dan daerah penghasil migas harus berkecukupan migasnya untuk pembangunan industri. (Baca: Pemerintah Rumuskan 15 Poin Penting dalam RUU Migas)
Pemerintah sebenarnya memiliki banyak usulan mengenai pembahasan RUU Migas saat ini. Namun, karena RUU ini merupakan inisiatif DPR, drafnya pun dibuat oleh DPR. “Pemerintah hanya akan aktif membahas dan memberikan masukan yang konstruktif,” ujar Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja.