Tutupi Biaya Infrastruktur, Pemerintah Kembali Keluarkan Obligasi

Muchamad Nafi
11 Februari 2016, 13:08
No image
Pekerja mengawasi proses pembangunan staiun bawah tanah MRT Dukuh Tas, Jakarta, Kamis (10/10). Proyek MRT ini ditargetkan selesai pada Mei 2018 dengan jumlah 7 stasiun layang yang meliputi Lebak Bulus, Fatmawati, Cipete Raya, Haji Nawi, Blok A, Blok M dan

KATADATA - Tak seperti biasanya, belanja pemerintah tercatat tinggi di awal tahun. Bulan lalu, belanja modal sudah mencapai Rp 1,5 triliun, lebih Rp 100 miliar dibanding Januari 2015. Namun hal ini menimbulkan persoalan baru, yakni terkait penerimaan negara yang mesti dipacu lebih tinggi, terutama untuk menutup biaya pembangunan infrastruktur.

Agar kas negara mencukupi segala pembangunan itu, sebenarnya pemerintah berharap ada tambahan dari kebijakan pengampunan pajak. Dari tax amnesty ini, dana masuk diperkirakan mencapai Rp 60 triliun. Sayangnya, beleid itu tak kunjung disahkan Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan menyatakan masih menunggu Presiden Joko Widodo mengeluarkan Amanat Presiden (Ampres). Dalam Ampres tersebut, para politisi berharap ada kesepakatan politik bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi juga segera rampung. (Baca juga: Cari Dana Infrastruktur, Pemerintah Jajaki Penerbitan Obligasi di Cina).

Sebagai antisipasi tertundanya penerimaan dari program tax amnesty, pemerintah kembali berencana menerbitkan obligasi atau surat utang negara. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan surat utang ini akan dikeluarkan di akhir semester satu nanti. Sebagaian dana yang diraup untuk memenuhi pembiayaan pembangunan infrastruktur di awal tahun.

Menurut dia, sebenarnya setiap tahun pemerintah menerbitkan empat macam obligasi internasioal. Global bond ini berupa global dolar, sukuk dalam dolar Amerika, euro bond, dan samurai bond dalm yen. Awal Desember lalu, misalnya, pemerintah merampungkan transaksi penjualan surat utang negara berdenominasi dolar Amerika Serikat senilai US$ 3,5 miliar atau setara Rp 48 triliun. Ini merupakan upaya pemerintah untuk kebutuhan pendanaan tahun ini (pre funding) alias ijon.  “Kami rencana front loading di pertengahan tahun ini,” kata Suhasil di Jakarta, Kamis, 11 Februari 2016.

Melihat kondisi ini, Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menyatakan pemerintah memang mesti berfokus pada jalan keluar pendanaan belanja modal. Terutama untuk pembangunan infrastruktur yang berdampak langsung terhadap manufaktur atau sektor di luar komoditas. Harapannya, dapat memberi efek ganda bagi perluasan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. (Lihat pula: Asing Masuk ke Obligasi Negara, Rupiah Stabil di Awal Tahun).

Terkait sumber pendanaan proyek-proyek tersebut, kata David, biasanya bertumpu pada penerimaan pajak. Dalam situasi normal, dan yang diperoleh dari pungutan wajib ini selalu bertambah 10 – 15 persen setiap tahun. Namun, melihat ekonomi yang masih lesu, harapan tersebut dirasa terlalu tinggi.

Target penerimaan pajak yang terlalu tinggi, menurut dia, justru akan memperketat likuiditas. Desember lalu misalnya, likuiditas perbankan mengetat lantaran beberapa deposan menarik dananya di perbankan untuk membayar pajak. Belum lagi, harga minyak yang rendah juga mengurangi potensi penerimaan dari sektor minyak dan gas. (Baca: Tertarik Beli Obligasi Negara? Ini Agen Penjual ORI012).

Begitu pun jika pemerintah menerbitkan surat utang dalam jumlah besar. Swasta akan bersaing dengan pemerintah memperebutkan likuiditas pasar. “Makanya penerimaan harus diantisipasi dari sekarang, karena (kondisi perekonomian) eksternal masih sulit,” tutur David kepada Katadata, Kamis, 11 Februari 2016.

Reporter: Desy Setyowati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...