Penyedia Data dan Konten Internet Asing Wajib Berbadan Usaha Tetap
KATADATA – Perkembangan dunia digital berbasis internet memang sedang mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Berbagai penyedia jasa dan layanan berbasis internet terus bermunculan dan merangsek masuk ke negara-negara berkembang, seperti Indonesia.
Masalahnya Indonesia terlihat belum siap menghadapi perkembangan ini. Pengguna internet di Indonesia sudah hampir mencapai 100 juta, tapi belum ada aturan yang memadai mengenai bisnis ini. Dampaknya adanya ketimpangan dengan perusahaan di sektor lain. (Baca: Dunia Digital yang Mengubah Model Bisnis di Indonesia
Penyedia jasa layanan konten data dan informasi berbasis internet (Over The Top / OTT) bisa menjalankan usahanya di Indonesia tanpa harus memiliki badan hukum legal di dalam negeri. Sementara operator telekomunikasi harus mengeluarkan banyak biaya untuk membangun infrastruktur jaringan yang digunakan oleh perusahaan OTT.
Saat ini pemerintah secara bertahap mulai membenahi hal ini. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan pemerintah akan mengeluarkan regulasi yang akan mengatur tentang keberadaan OTT asing di dalam negeri. “Kami minta mereka untuk memiliki bentuk usaha tetap (BUT) atau Permanent Establishment di Indonesia,” ujar Rudiantara usai acara Digital Dividends oleh World Bank, di auditorium CSIS, Gedung Pakarti Centre, Jakarta, Jumat (11/3). (Baca: Indonesia, Raksasa Teknologi Digital Asia)
Ada beberapa alasan yang membuat pemerintah ingin menerapkan aturan ini. Pertama terkait jaminan pelayanan pelanggan (customer service). Agar semua keluhan pelanggan atau pengguna jasa bisa teratasi dengan baik, karena perusahaannya ada di Indonesia.
Kedua, perlindungan konsumen, seperti data pelanggan dan lain-lain. Ketiga, kesetaraan dalam regulasi, salah satu mengenai hukum dan perpajakan. Selama ini OTT asing melakukan bisnisnya di dalam negeri, tapi perusahaannya tidak tercatat di Indonesia. Akhirnya pemerintah pun kesulitan untuk memungut pajak dari mereka.
Sementara perusahaan penyedia layanan komunikasi membayar pajak yang cukup besar bagi negara. Padahal, OTT tidak mungkin bisa menjalankan usahanya tanpa melalui jaringan internet yang disediakan perusahaan telekomunikasi. (Baca: Indonesia, Target Pasar Utama Facebook)
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat nilai iklan digital (digital ads) sebagai sumber penghasilan OTT di Indonesia sangat besar, lebih dari US$ 800 juta pada tahun lalu. “70 persen digital ads hanya ada di dua perusahaan besar di dunia. Di Jakarta kami ketemu Line, Blackberry. Line Corporation memang sudah membuka kantor di Indonesia sejak 2012, sedangkan RIM Blackberry sejak 2010.
Rudiantara mengakui mengakui pembentukan Badan Usaha Tetap di Indonesia ini tidak akan mudah dilakukan. Namun, pemerintah juga memberikan kemudahaan dengan tiga opsi, yakni dengan membentuk BUT sendiri, patungan (joint venture) dengan perusahaan lain, atau bekerjasama dengan operator seluler di dalam negeri.
Menurut dia, kebijakan ini merupakan hasil kajian dengan beberapa kementerian terkait lainnya, bukan hanya Kementerian Komunikasi dan Informatika. Saat ini draf aturannya sudah final dan tinggal disahkan. Paling lambat awal bulan depan, peraturannya sudah bisa terbit.
Kebijakan ini diharapkan bisa memberi manfaat lebih besar bagi masyarakat Indonesia sebagai pengguna. “Indonesia jangan hanya dilihat sebagai pasar, tapi juga harus ada benefitnya kembali ke masyarakat Indonesia,” ujar Rudiantara. (Baca: Bank Dunia: Manfaat Teknologi Digital di Indonesia Masih Timpang)