Ribuan Aturan Bermasalah, Jokowi: Menteri Jangan Asal Teken
KATADATA - Presiden Joko Widodo menilai ada banyak peraturan yang telah menghambat daya saing dan kemudahan berusaha di dalam negeri. Untuk itu, dia mengingatkan kepada seluruh menteri agar tidak sembarangan mengikuti keinginan bawahannya untuk menerbitkan aturan-aturan baru.
Presiden bahkan menyentil menteri yang kerap hanya meneken aturan dan regulasi yang disodorkan Direktur Jenderal (Dirjen) di kementeriannya. Praktik inilah yang menyebabkan saat ini ada ribuan peraturan yang bermasalah. "Disodori (aturan) dirjennya langsung teken. Ini yang harus kita berantas," kata Jokowi dalam rapat kerja dengan semua pejabat eselon I Kementerian dan Lembaga di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Jakarta, Selasa (22/3).
Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Jokowi menyebut saat ini total ada 42 ribu aturan pemerintah. Selain itu, ada 3 ribu peraturan daerah (perda) yang dianggap bermasalah. Alhasil, Jokowi melihat, saat ini pemerintah terjerat oleh aturan-aturan yang dibuatnya sendiri. Ujung-ujungnya, para pejabat atau pengambil kebijakan banyak terjerat kasus hukum gara-gara banyaknya aturan tersebut.
(Baca: Bulan Ini, Pemerintah Rilis Banyak Aturan Kemudahan Berusaha)
“Sudah berapa banyak menteri kita yang terjerat korupsi, Bappeda, sekjen, irjen, sudah termasuk. Karena memang kita terlalu banyak aturan,” kata Jokowi. Karena itulah, Presiden meminta para pejabat eselon I di kementerian dan pemerintah daerah tidak lagi membuat peraturan baru. Sedangkan peraturan yang sudah ada dapat disederhanakan. Dengan begitu, pengambilan dan pelaksanaan keputusan lebih cepat.
Jokowi mencontohkan, telah menginstruksikan penggabungan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) yang menjadi kewenangan Kementerian Perdagangan. Sebab, dia melihat hal tersebut hanya merupakan syarat belaka sehingga harus disederhanakan. "Ada lagi izin gangguan dan izin lingkungan (Amdal), ini kan sama saja, malah meruwetkan kita semua.”
(Baca: Dorong Kemudahan Berusaha, Penyelesaian Kepailitan Dipercepat)
Pemerintah memang tengah berupaya menyederhanakan peraturan yang dapat menghambat kemudahan berusaha. Pasalnya, Bank Dunia menempatkan Indonesia di peringkat ke-109 dari 189 negara dalam survei Ease of Doing Business 2016, yang dirilis Oktober tahun lalu. Indonesia naik 11 peringkat dari tahun sebelumnya, namun masih di bawah beberapa negara jiran, seperti Singapura di posisi 1, Malaysia nomor 18 dan Thailand ke-49.
(Baca: Perbaiki Kemudahan Berusaha, Pemerintah Revisi 22 Peraturan)
Jokowi menargetkan kenaikan peringkat kemudahan berusaha ke posisi 40 dari 189 negara dalam dua tahun ke depan. Demi mencapai target tersebut, pemerintah melibatkan 15 institusi kementerian atau lembaga (K/L) dan dua pemerintah daerah untuk perbaikan menyeluruh 10 aspek kemudahan berusaha. Yaitu: memulai usaha, perizinan, pendaftaran properti, kelistrikan, pembayaran perpajakan, perdagangan lintas negara, akses perkreditan, perlindungan pada investor minoritas, penegakan kontrak dan penyelesaian kepailitan.