Dua Tahun Lagi, BI Perkirakan Ekonomi Bisa Tumbuh 6,5 Persen
KATADATA - Bank Indonesia (BI) masih optimistis kondisi perekonomian pada tahun ini akan lebih baik. Bahkan, dalam dua tahun ke depan, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 6,5 persen pada 2018. Syaratnya adalah melakukan reformasi struktural berupa pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM). Selain itu, mendorong ekspor.
Gubernur BI Agus Martowardojo menilai akselerasi pembangunan infrastruktur dan kebijakan fiskal akan menopang pertumbuhan ekonomi tahun ini. Di sisi lain, 10 paket kebijakan ekonomi pemerintah yang sudah dirilis sejak September tahun lalu bakal mengerek investasi swasta. “Kami masih optimistis ekonomi tahun ini akan baik,” katanya dalam seminar bertajuk “Growth Diagnostic of Indonesia” di Gedung BI, Jakarta, Rabu (23/3).
Sedangkan dalam jangka menengah, pemerintah perlu melakukan reformasi struktural. Pasalnya, menurut Agus, saat ini hanya negara yang melakukan reformasi struktural yang bisa tumbuh tinggi di tengah kondisi perlambatan ekonomi dunia. Ia menunjuk contoh negara-negara yang berhasil melakukan hal tersebut adalah India dan Cina. Reformasi itu berupa pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan konektivitas sehingga mengurangi biaya logistik. Dengan begitu, industri manufaktur bisa berkembang sejalan dengan pembangunan SDM.
Pandangan serupa disampaikan oleh Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo. Dengan perbaikan infrastruktur, akan berdampak pada penurunan biaya logistik. Alhasil, mampu menarik minat investor asing untuk menanamkan modalnya secara langsung di Indonesia (Foreign Direct Investment/FDI). Jika hal ini berhasil dilakukan, ia memperkirakan ekonomi Indonesia bakal tumbuh 6,5 persen pada 2018. Bahkan, pada 2020 mendatang bisa tumbuh 7 persen.
Menurut Perry, perbaikan infrastruktur yang mendorong industri manufaktur ini menjadi penting. Sebab, agar ekonomi terus tumbuh membutuhkan peningkatan produktivitas. Untuk itu, perlu pula membangun SDM sehingga bisa berdaya saing dengan pekerja asing. “Reformasi struktural seperti ini akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pendapatan masyarakat, dan permintaan ke industri,” katanya.
Pada kesempatan itu, bekas Menteri Keuangan Chatib Basri menilai, yang terpenting saat ini adalah peningkatan daya saing untuk mendorong ekspor. Selama ini Indonesia kalah dengan Thailand dan Vietnam karena persoalan daya saing. Ia menganalisa, 60 persen produk ekspor Indonesia masih seragam dengan tujuan yang sama. Karena itulah, Indonesia kehilangan daya saingnya.
Menurut Chatib, industri manufaktur terus mengalami perlambatan. Pada 1976-1990, kontribusi manufaktur terhadap ekspor mencapai 30 persen. Sedangkan saat ini hanya 0,9 persen. Berbeda dengan ekspor komoditas yang hanya 6 persen pada 1976-1990, namun meningkat menjadi 20 persen pada 2003-2011. Namun, kontribusinya menurun sepanjang 2011-2015 menjadi minus 9 persen seiring penurunan harga komoditas.
Perbaikan dari sisi ekspor juga akan membantu ekonomi tumbuh tinggi dalam jangka panjang. Ia mengakui, perbaikan regulasi untuk mendorong ekspor membutuhkan waktu lama. Namun, langkah pemerintah merilis paket kebijakan ekonomi sudah tepat untuk mendorong industri manufaktur.