Jaga Dana Asing Kabur, Pemerintah Bisa Pajaki Valas Jangka Pendek
KATADATA - Di tengah kebijakan suku bunga rendah di dunia, bahkan bunga negatif, pasar keuangan di dalam negeri justru kebanjiran dana investor asing. Namun, pemerintah perlu mewaspadai kaburnya dana panas (hot money) itu karena kondisi pasar global belum stabil. Salah satu caranya adalah menerapkan pajak terhadap dana asing yang berdurasi pendek.
Sejak awal tahun ini, Indonesia memang menuai berkah dari kebijakan suku bunga nyaris nol persen di bebarapa negara. Bahkan, beberapa negara seperti Jepang dan kawasan Eropa telah menerpakan suku bunga negatif. Hal ini membuat investor global mengalihkan dananya ke pasar yang masih menawarkan suku bunga tinggi.
Salah satu pelabuhan dana investor asing itu adalah Indonesia, dengan tawaran imbal hasil surat utang negara (SUN) acuan 10 tahun sebesar di atas 7 persen. Dana asing tersebut mengalir masuk ke pasar SUN dan saham. Sejak awal tahun hingga akhir Februari lalu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan, dana asing yang masuk ke Indonesia mencapai Rp 35 triliun. Jumlahnya lebih dari separuh total dana asing yang masuk selama 2015 yang sebesar Rp 58 triliun. Alhasil, mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sejak awal tahun hingga Rabu ini (23/3) telah menguat 4,4 persen dan sempat menyentuh level 12.000-an per dolar AS.
Namun, ‘dana panas’ investor asing itu berpotensi kabur lagi kalau negara-negara lain menaikkan kembali suku bunganya. Apalagi, ada kemungkinan bank sentral AS menaikkan suku bunganya pada bulan depan. Agus mengamini potensi kaburnya dana asing tersebut. “Kami tahu bahwa dana masuk itu banyak tapi kami tahu masih ada risiko. Kalau bunga AS dinaikan, meski tidak besar, akan berdampak ke capital outflow,” katanya seusai menghadiri seminar bertema “Growth Diagnostic in Indonesia” di Gedung BI, Jakarta, Rabu (23/3).
Untuk itu, BI dan pemerintah perlu mengantisipasi hal tersebut sehingga tidak menimbulkan gejolak di pasar dalam negeri. Salah satu langkah yang dilakukan BI adalah menurunkan suku bunga acuan BI rate selama tiga bulan berturut-turut sejak awal 2016 sebesar 0,75 persen menjadi 6,75 persen. Kebijakan itu diharapkan bisa mengurangi minat investor untuk berinvestasi pada instrumen-instrumen keuangan jangka pendek di pasar domestik. Sebaliknya, investor asing diharapkan mau berinvestasi secara jangka panjang.
(Baca: BI Peringatkan Pasar Dampak Kenaikan Fed Rate)
Namun, menurut mantan Menteri Keuangan Chatib Basri, pemerintah bisa juga membuat kebijakan agar dana asing tidak mudah ke luar dari Indonesia. Caranya dengan menerapkan tobin tax, pajak atas transaksi valuta asing berbau spekulasi pada instrumen investasi jangka pendek. Beberapa negara di dunia telah menerapkan pajak tersebut dengan besaran 0,1-0,5 persen. Pemerintah Cina juga tengah mengkaji pemberlakuan tobin tax untuk mengangkal hengkangnya dana asing. Jadi ketika ada gejolak di pasar keuangan, dana tersebut tak mudah cabut ke luar negeri.
Chatib mengakui, penerapan kebijakan itu tidak mudah karena membutuhkan payung hukum. Alternatif lainnya adalah pengenaan fee atau biaya yang lebih tinggi terhadap investor yang meletakkan dana di pasar keuangan dalam jangka pendek. Sedangkan untuk jangka panjang bisa dibebaskan atau dengan biaya yang sangat rendah. "Jadi kalau orang beli saham jangka pendek, fee-nya lebih mahal daripada membeli saham jangka panjang," katanya.
(Baca: Tembus Level Rp 12.000, Darmin: Rupiah Dekati Nilai Fundamental)
Dengan cara itu, pasar di dalam negeri tidak selalu secara mudah dipermainkan hot money yang biasanya mencari tingkat keuntungan tinggi. “Di Jepang (bunga) negatif, dia (asing) masuk ke sini. Nanti begitu di sana (bunga naik), uangnya kembali, kita teriak-teriak lagi,” kata Chatib.
Dalam jangka panjang, pemerintah juga harus meningkatkan investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) pada industri-industri yang berorientasi ekspor. Pasalnya, selama ini kebanyakan FDI yang masuk berorientasi domestik yang pendapatannya dalam rupiah. Padahal, repatriasinya dalam bentuk valas sehingga berdampak pada penurunan surplus neraca pembayaran Indonesia.
(Baca: Banjir Dana Asing ke SUN, Rupiah Akan Terus Menguat)
Deputi Direktur Bank Pembangunan Asia (Asia Development Bank/ADB) untuk Filipina Edimon Ginting juga menilai, kebijakan tobin tax merupakan langkah tepat untuk mengarahkan investor berinvestasi jangka panjang. Apalagi masih ada ketidakpastian global, sehingga risiko hengkangnya dana asing sangat tinggi. "Itu masih didiskusikan, tapi intinya membuat modal yang masuk lebih stabil,” katanya.
Namun, pemerintah sepertinya belum akan segera mengadopsi kebijakan itu. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara mengaku belum paham kemungkinan kebijakan tersebut bisa diterapkan atau tidak di Indonesia. Meski dia mengakui pembalikan dana investor asing secara mendadak memang harus diantisipasi sejak dini.