Pemerintah Tawari Nama di Panama Papers Ikut Repatriasi
Terkuaknya bocoran data dari kantor firma hukum Mossack Fonseca, Panama memperjelas bertebarannya ribuan triliun rupiah milik penduduk Indonesia di luar negeri. Karena itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengimbau nama-nama yang disebut dalam dokumen yang dikenal sebagai Panama Papers itu untuk mengalihkan dananya ke dalam negeri.
Untuk menampung dana jumbo melalui program repatriasi ini, pemerintah sedang mempersiapkan skemanya. “Begitu uang masuk akan ada beberapa instrumen yang disiapkan,” kata Bambang usai menandatangani nota kesepahaman mengenai pengembangan dan pendalaman pasar keuangan di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat, 8 April 2016. (Baca: Unit Khusus Pajak Telisik Ribuan Nama WNI dalam Panama Papers).
Hari ini, Presiden Joko Widodo juga mengatakan pemerintah telah memegang segunung data para pemilik rekening dan perusahaan di luar negeri, termasuk di negara-negara suaka pajak atau tax haven. “Sebelum Panama Papers, saya sudah punya satu bundel nama-nama yang nyimpen di Swiss, di Singapura. Saya tahu. Nanti di 2017-2018 dibuka semuanya,” kata Jokowi saat Rapat Kerja Pemerintah Tahun 2016 dengan pemimpin daerah di Istana Negara, Jakarta.
Seperti Katadata beritakan sebelumnya, organisasi wartawan investigasi global (ICIJ) merilis dokumen bertajuk Panama Papers secara serentak di seluruh dunia mulai Senin awal pekan ini. Data yang bersumber dari bocoran data Mossack Fonseca ini menyangkut 11,5 juta dokumen daftar klien Fonseca dari berbagai negara, termasuk Indonesia, yang diduga sebagai upaya untuk menyembunyikan harta dari endusan aparat pajak di negara masing-masing.
Sejumlah nama politisi, bintang olahraga, dan selebriti yang menyimpan uang mereka di berbagai perusahaan cangkang di luar negeri tercatat dalam dokumen tersebut. Tercatat, dokumen Panama Papers masuk dalam file sebesar 2,6 terabyte (TB). Perinciannya, ada 4,8 juta e-mail, 3 juta database, 2,1 juta dokumen PDF, 1,1 juta foto, 320 ribu dokumen teks, dan 2.000-an file lainnya. (Baca: 6.000 Orang Indonesia Simpan Uangnya di Satu Negara).
Menurut Bambang, beberapa nama dalam Panama Papers memang ada yang sesuai dengan dokumen yang dimiliki pemerintah. Direktorat Jenderal Pajak mempunyai data dari otoritas pajak negara lain. Saat ini Direktorat Pajak masih mengkaji dokumen temuan organisasi wartawan global International Consortium of Investigative Journalists. Hasil investigasi ini akan dijadikan referensi tambahan untuk mengejar pajak.
Dalam perhitungan Bambang, dari penerapan pengampunan pajak atau tax Amnesty, akan ada dana lebih dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB) yakni Rp 11.450 triliun. Untuk menampung likuiditas tersebut, pemerintah mempersiapkan instrumen investasi berupa surat utang negara, obligasi korporasi melalui Badan Usaha Milik Negara, dan deposito setahun. (Baca juga: PPATK Temukan Modus Transaksi dalam Panama Papers).
Dari Singapura, misalnya, dasar perhitungannya diperoleh dengan melihat rasio utang terhadap PDB Singapura mencapai 200 persen. Padahal rasio tabungan terhadap pinjaman (LDR) di bawah 90 persen. Bambang berpandangan kelebihan likuiditas di Singapura ini berasal dari uang warga Indonesia. Apalagi data yang dimiliki Kementerian Keuangan ini berasal dari 20 tahun lalu. Karena sudah dipindah sejak 1970, nilainya meningkat jika dirupiahkan.
Draf Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak juga memasukan ketentuan repatriasi. Namun sifatnya masih opsional. Jika dananya direpatriasi maka tarif tebusan pengampunan pajak sebesar satu hingga tiga persen dari aset yang dilaporkan. Persentase tersebut berdasarkan waktu pengajuam pengampunan pajak. Tetapi jika tidak repatriasi, tarifnya sebesar dua, empat, dan enam persen. Namun hingga saat ini, beleid untuk menambah penerimaan pajak tersebut tak kunjung mendapat kepastian Dewan Perwakilan Rakyat. “Begitu semua jelas (Panama Papers), kami akan koordinasikan dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan untuk mengasosiasikan sistem keuangan,” kata Bambang.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo memperkirakan, hanya ada Rp 500 triliun uang yang bakal pulang kandang. Sebab, pasar uang di dalam negeri belum mampu menampung dana dalam jumlah besar. Jika dipaksakan, akan mendorong bunga turun lebih dalam. Dengan begitu, bank bisa merugi karena pendapatannya menurun. (Lihat pula: 20 Negara Suaka Pajak Teraman).
Sementara untuk tambahan penerimaan pajak dari uang tebusan, Prastowo memproyeksikan ada Rp 50-60 triliun. Dia menghitung saat ini ada Rp 77 triliun tunggakan pajak yang belum ditagih. Namun hanya sekitar Rp 15 triliun yang likuid, yang memungkinkan ikut tax amnesty. Kemudian ada sengketa pajak senilai Rp 40 - 50 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 20 triliun diprediksi masuk penerimaan negara.