Namanya Masuk Panama Papers, Ketua BPK Klarifikasi ke Jokowi
Sepekan terakhir ini, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Azis menuai sorotan tajam lantaran namanya masuk dalam dokumen Panama Papers. Di tengah desakan mundur yang mengalir deras dari masyarakat karena sebagai pejabat negara tidak melaporkan kepemilikan perusahaannya di negara suaka pajak (tax havens) tersebut, Harry mengklarifikasi masalah itu kepada Presiden Joko Widodo.
“Saya sudah lapor ke Presiden tadi,” kata Harry seusai bertemu Presiden Jokowi di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis (14/4). Dalam pertemuan itu, menurut Harry, dirinya menyatakan sudah melaporkan kepemilikan aset di negara suaka pajak tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak.
Presiden pun menganggapi penjelasan tersebut. “Kalau kata Presiden, kalau tidak ada kerugian negara ya tidak apa-apa Pak Harry,” ujar Harry menyitir pernyataan Jokowi.
Sedikit berbeda dari penjelasan Harry, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyatakan, Presiden hanya mendengarkan klarifikasi yang disampaikan Ketua BPK soal namanya dalam dokumen Panama Papers. Sebab, Presiden belum mengetahui kejadian sebenarnya. “Mengenai apa dan bagaimananya (aset perusahaan dalam Panama Papers) kan Ketua BPK yang tahu,” kata Pramono.
(Baca: Masuk Panama Papers, Ketua BPK: Diminta Anak Buat Perusahaan)
Ia menolak menjelaskan lebih detail pertemuan Presiden dengan Ketua BPK, termasuk kemungkinan adanya pelanggaran karena tidak melaporkan kepemilikan aset perusahaan tersebut. “Tadi kami hanya mendengarkan,” kata Pramono.
Seperti diberitakan sebelumnya, organisasi wartawan investigasi global (ICIJ) merilis dokumen bertajuk Panama Papers secara serentak di seluruh dunia pada Senin dua pekan lalu. Dokumen yang bersumber dari bocoran data firma hukum Mossack Fonseca di Panama ini berisi 11,5 juta dokumen daftar kliennya dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Para klien itu membuka rekening dan mendirikan perusahaan cangkang di berbagai negara suaka pajak, yang diduga sebagai upaya menyembunyikan harta dari endusan aparat pajak di negara masing-masing.
Dalam daftar tersebut, Harry tercatat sebagai pemilik Sheng Yue International Limited, perusahaan offshore yang didirikan di British Virgin Island. Awalnya, Harry membantah terkait perusahaan cangkang itu. Namun, Selasa lalu (12/4), dia membenarkan informasi dalam Panama Papers tersebut.
(Baca: Ketua BPK di Panama Papers, PPATK Selidiki Pejabat)
Harry menjabat direktur di Sheng Yue International Limited dari 2010 hingga Desember 2015. Sebagai pemegang saham, alamat yang dipakai Kompleks Dewan Perwakilan Rakyat, Ruang 1219, Gedung Nusantara I. Ketika itu, secara bersamaan Harry memang menjabat Ketua Badan Anggaran DPR. Perusahaan itu dibentuk atas permintaan anaknya yang juga memiliki pasangan warga negara asing asal Chile untuk memiliki usaha bersama. “Anak saya meminta agar membuat usaha (keluarga), saya daftarkan.”
Dia baru melepas jabatan direktur setahun setelah menjabat Ketua BPK. Namun, dia menegaskan sepanjang mengisi kursi direktur Sheng Yue tak ada transaksi perusahaan sama sekali. Sayangnya, sebagai pejabat negara, Harry tak pernah melaporkan aset tersebut dalam lembar Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Berdasarkan penelusuran Katadata, Harry tercatat baru dua kali melaporkan hartanya, yakni pada tahun 2003 dan 2010. Padahal, dia sudah memangku jabatan Ketua BPK pada 2014. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, seorang pejabat wajib melaporkan harta kekayaannya sebelum dan setelah menjabat suatu posisi.
(Baca: Direktorat Pajak Kantongi 2.000-an Nama di Negara Tax Havens)
Pada 2003, harta kekayaannya mencapai Rp 1,095 miliar dan US$ 11.344. Sedangkan pada 2010, saat menjadi anggota DPR, harta Harry bertambah menjadi Rp 9,930 miliar dan US$ 680. Setelah heboh namanya masuk Panama Papers, Harry mengaku akan segera menyampaikan LHKPN. “Ya, saya akan lapor.”
Tindakan ini mendapat perhatian khusus Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso. Menurut dia, pejabat negara yang enggan melaporkan kepemilikan perusahaan offshore-nya dalam LHKPN, “Kami suruh mundur saja,” kata Agus dalam seminar “Bedah Kasus Aset Indonesia di Negara Suaka Pajak di Kedai Pos, Jakarta, Selasa lalu (12/4).
Menurut Agus, pejabat yang memiliki akun atau perusahaan cangkang biasanya untuk menerima komisi dari pemasok di luar negeri. Misalnya, untuk menampung hasil penjualan minyak, gas, atau kontraktor. “Dugaannya itu ke sana."
(Baca: Unit Khusus Pajak Telisik Ribuan Nama WNI dalam Panama Papers)
Karena itu, instansinya akan mengkaji dokumen Panama Papers untuk melihat apakah nama-nama yang tercatat di sana, termasuk Harry, melakukan tindakan penghindaran pajak. PPATK memperkirakan butuh dua pekan untuk memverifikasi data tersebut.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menganggap seorang pejabat negara yang tak melaporakan kekayaannya dalam LHKPN semestinya mundur. Namun penting juga dilakukan validasi dan verifikasi oleh PPATK dan Direktorat Pajak untuk dibandingkan dengan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak. “Jika kepemilikan itu belum dilaporkan, harus mundur,” katanya.