Ketimpangan Turun, Ekonomi Masih Dikuasai 20 Persen Penduduk
Rasio ketimpangan kesejahteraan penduduk Indonesia cenderung menurun. Rasio gini atau tingkat ketimpangan penduduk pada September 2015 sebesar 0,40, menurun dibandingkan periode Maret 2015 yang sebesar 0,41. Namun, 20 persen penduduk masih menguasai perekonomian nasional.
Semakin tinggi nilai rasio itu maka menunjukkan ketimpangan yang makin tinggi. Rasio gini pada 2010 sebesar 0,38 dan meningkat terus hingga Maret 2015 menjadi 0,41. Pada September 2015 tercatat 0,40. Rasio gini juga memang kerap diukur berdasarkan tingkat rasio pengeluaran kelompok penduduk 40 persen terbawah, yang dikenal dengan ukuran Bank Dunia.
Berdasarkan ukuran ini, tingkat ketimpangan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu ketimpangan tinggi jika persentease pengeluaran kelompom penduduk 40 persen terbawah angkanya di bawah 12 persen. Ketimpangan sedang jika angkanya berkisar 12-17 persen dan ketimpangan rendah jika angkanya di bawah 17 persen.
Pada September 2015, persentase pengeluaran kelompok 40 persen terbawah sebesar 17,45 persen. Artinya, berada pada kategori ketimpangan rendah. Kondisi ini lebih baik dibandingkan Maret 2015 yang sebesar 17,10 persen.
Dalam perhitungan BPS, 40 persen masyarakat berpenghasilan rendah berjumlah sekitar 100 juta penduduk. Sedangkan 40 persen kelas menengahnya berjumlah 100 juta. Adapun 55 juta penduduk merupakan 20 persen masyarakat berpendapatan tinggi.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin mengatakan, penurunan tingkat ketimpangan penduduk ini karena kenaikan upah kelompok pendapatan berpenghasilan terendah. Upah buruh pertanian dan bangunan misalnya masing-masing naik 1,21 persen dan 1,05 persen dari bulan Maret ke September 2015. Selama masa Maret-September 2015 memang terjadi perbaikan perekonomian di sektor riil yang ditempati oleh mayoritas penduduk berpenghasilan rendah.
(Baca: Inflasi Rendah Berperan Turunkan Penduduk Miskin 80 Ribu Orang)
Di sisi lain, 40 persen kelompok masyarakat kelas menengah menguasai pengeluaran sebesar 34,7 persen. Persentasenya naik 0,05 persen dibandingkan Maret 2015. Sedangkan 20 persen kelompok masyarakat atas menguasai 47,84 persen pengeluaran secara nasional. Persentasenya menurun dibandingkan Maret 2015 yang sebesar 48,25 persen.
Berdasarkan kajian BPS, penurunan pengeluaran masyarakat kelas atas ini karena kinerja sektor modern seperti jasa pun menurun. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran pendorong ekonomi dari sektor jasa ke riil, seperti pertanian, pertambangan, ataupun Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). "Kalau pemerintah mau menurunkam rasio gini lebih besar lagi, harus didorong sektor riil ini. Karena masyoritas penduduk berpenghasilan rendah bekerja di sektor riil," tutur Suryamin di kantor BPS, Jakarta, Senin (18/4).
(Baca: Laju Ketimpangan Orang Kaya-Miskin Indonesia Tercepat di Asia)
Perbaikan rasio gini juga didukung pertumbuhan ekonomi, yang naik 7,12 persen dari kuartal I ke kuartal III-2015. Nilai tukar petani juga naik 0,79 persen dari Maret ke September tahun lalu. Upah buruh pertanian ikut terangkat naik. Selain itu, upaya pemerintah membangun infrastruktur yang meningkat di akhir tahun menyebabkan kenaikan upah buruh. Faktor lain adalah peningkatan dana bantuan sosial kepada masyarakat kelas bawah, sehingga kelebihan pengeluarannya bisa digunakan kembali untuk keperluan lain.
(Baca: Pemerintah Akan Andalkan Dana Desa Bangun Infrastruktur)
Tingkat ketimpangan di pedesaan pun lebih rendah dibanding perkotaan, yakni 0,33 persen pada September 2015 berbanding 0,42 persen pada Maret 2015. Ini menunjukkan ketimpangan pendapatan penduduk di pedesaan lebih stabil ketimbang perkotaan. BPS mencatat ada empat kota yang tingkat ketimpangannya melebihi angka nasional. Yakni Daerah Istimewa Yogyakarta dan DKI Jakarta 0,42 persen. Sementara itu Jawa Barat dan Papua Barat 0,43 persen.