Otoritas Moneter Waspadai Kenaikan Fed Rate
Otoritas moneter dan keuangan Indonesia memperingatkan pasar terkait ketidakpastian kenaikan suku bunga Amerika Serikat alias fed rate. Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Muliaman D. Haddad mengatakan Indonesia sering menghadapi dampak masalah tersebut. Penyebabnya, pasar keuangan masih dangkal sehingga rentan terjadi gejolak.
Stabilnya ekonomi saat ini, kata dia, karena Indonesia diuntungkan oleh kebijakan bank sentral Amerika Serikat, The Fed, yang menahan fed rate. Jika The Fed mengubah pandangannya akan mempengaruhi sentimen. “Investor portfolio akan berubah perilakunya, lalu menekan Indeks Harga Saham Gabungan dan rupiah,” kata Muliaman saat membuka acara peluncuran Laporan Perekonomian 2015 di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis, 28 April 2016.
Persoalan yang berulang ini lantaran pasar keuangan belum optimal. Ketika terjadi sentimen, pasar langsung bergejolak. Karenanya, Muliaman menegaskan reformasi struktural untuk memperdalam pasar menjadi penting. Saat ini, industri keuangan didominasi oleh perbankan. Padahal ruangnya tidak terlalu besar karena sumber dananya merupakan jangka pendek. Mayoritas dana pihak ketiga perbankan bahkan di bawah enam bulan. Sementara itu kebutuhan pembiayaan infrastruktur merupakan jangka panjang. (Baca: Langkah Baru BI Antisipasi Kenaikan Bunga Fed Rate).
Pergeseran dari mengandalkan perbankan ke sektor keuangan yang lain menjadi penting. Misalnya Surat Berharga Negara (SBN), surat utang korporasi atau Badan Usaha Milik Negara, juga pasar modal. Hal ini terutama untuk meningkatkan peran swasta dalam membangun infrastruktur. Selain itu, perlu diupayakan meningkatkan basis investor domestik guna mengurangi porsi asing 60 persen di pasar modal dan 30 persen di pasar surat utang.
“Perlu dibangun iklim yang bukan hanya mengundang masuk modal portfolio, tetapi juga investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) agar ketika terjadi sentimen dampaknya tidak terlalu besar,” kata Muliaman. (Lihat pula: Indonesia Pimpin Pertumbuhan Ekonomi Asia).
Hal senada disampaikan Mirza Adityaswara. Deputi Gubernur Senior BI ini mengingatkan meski saat ini pasar memperkirakan The Fed hanya akan menaikan Fed Rate sekali, perlu diperhatikan pula jika ada perubaha sikap. Kendati sudah menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) sebanyak tiga kali sebesar 0,75 persen, BI tetap mewaspadai ketidakpastian kenaikan fed rate.
“Jangan-jangan The Fed berubah pikiran. Bisa saja kalau data Amerika Serikat akselerasi yang tadinya kami perkirakan tahun ini hanya naik sekali, berubah lagi. Kondisi seperti itu harus kami waspadai,” ujar Mirza.
Peringatan seperti ini telah disampaikan pula oleh Development Bank of Singapore (DBS) Grup yang memperkirakan The Fed menaikan suku bunga acuannya hingga tiga kali: Juni, September, dan Desember. Dengan pergerakan itu, mereka memproyeksikan rupiah akan menyentuh level 13.600 per dolar Amerika tahun ini. Kendati demikian, ekonomi hingga akhir tahun tetap diperkirakan mencapai 5,2 persen. Hal ini terbantu oleh pelonggaran moneter di Eropa dan Jepang sehingga dana asing masih masuk kendati nilainya berkurang.
Masuknya dana asing ini terpicu oleh perbedaan atau selisih imbal hasil (yield) Surat Utang Negara (SUN) dengan obligasi negara maju mencapai empat persen. Karena itu, dana asing masuk atau capital inflow masih terus membanjiri Indonesia hingga US$ 4,9 miliar sejak awal tahun. (Baca: DBS Peringatkan Kenaikan Fed Rate di Tengah Perbaikan Ekonomi).
Ekonom DBS Gundy Cahyadi mengatakan penguatan rupiah saat ini bukan sesuatu yang unik. Sebab hal yang sama dirasakan oleh mata uang lain, terutama negara-negara yang pasarnya tengah berkembang atau emerging market. Justru ia ingin mengingatkan pasar agar berhati-hati pada kemungkinan kenaikan fed rate yang berturut-turut hingga akhir 2016.