Permintaan Lemah, BI Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi
Bank Indonesia (BI) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2016 menjadi 5 persen hingga 5,4 persen. Sebelumnya, otoritas moneter ini memperkirakan ekonomi tahun ini bisa tumbuh 5,2 persen sampai 5,6 persen. Alasannya, permintaan di dalam negeri yang terdiri atas konsumsi masyarakat dan investasi swasta belum menunjukan perbaikan hingga kuartal I-2016.
Gubernur BI Agus Martowardojo menjelaskan, proyeksi itu berdasarkan kondisi ekonomi di dalam dan luar negeri saat ini. Perlambatan ekonomi global bukan hanya dipicu oleh negara maju, melainkan juga negara-negara yang pasarnya tengah berkembang (emerging market). Tak heran, selain negara-negara maju, sejumlah negara berkembang juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonominya.
Di dalam negeri, BI melihat pertumbuhan ekonomi hingga kuartal I-2016 terlihat cukup kuat. Namun, jika ditelaah lebih jauh, pertumbuhan konsumsi domestik belum terlalu baik. “Kondisi investasi juga masih menunjukan belum kuat,” kata Agus seusai Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI di Jakarta, Kamis (19/5).
Dewan Gubernur BI Perry Warjiyo juga menunjuk, rendahnya permintaan investasi dan konsumsi domestik sebagai penyebab pertumbuhan ekonomi tidak maksimal pada kuartal I lalu. Padahal, pemerintah sudah memberikan stimulus fiskal dan mempercepat reformasi struktural melalui 12 paket kebijakan ekonomi.
(Baca: Pertumbuhan Ekonomi Kuartal I-2016 Meleset di Bawah Target)
Dari sisi BI, juga sudah berupaya mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Caranya agresif menurunkan suku bunga acuan BI Rate selama tiga bulan berturut-turut di awal tahun ini menjadi 6,75 persen.
“Stimulus fiskal untuk meningkatkan investasi di sektor publik infrastruktur, belum mampu mendorong investasi swasta karena permintaannya belum meningkat,” kata Perry. Ada banyak faktor penyebab, yang salah satunya adalah persepsi bisnis. Selain itu, permintaan konsumsi juga belum naik.
Untuk mendongkrak permintaan kredit, Agus menyatakan, ada tiga kebijakan yang akan dikeluarkan BI. Pertama, pelonggaran rasio kredit terhadap nilai agunan (loan to value/LTV). Jika rasio kredit bermsalah (NPL) suatu bank di bawah lima persen, misalnya, bisa diberikan pelonggaran batasan LTV. Dengan begitu, permintaan kredit diharapkan meningkat.
(Baca: Dua Sebab Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Kuartal I Meleset)
Kedua, mengkaji pelonggaran aturan untuk memasukkan surat berharga dalam perhitungan dana pihak ketiga (DPK) atau disebut Loan to Funding Ratio (LFR). Tujuannya agar likuiditas bank lebih besar untuk mengucurkan kredit. Ketiga, penyesuaian rasio usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). “Kami akan matangkan (rencana) itu dan akan ada diskusi publik untuk memperkuat,” ujar Agus.
Di sisi lain, dia menyatakan BI masih membuka peluang mengubah kembali proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut. Sebab, BI masih melihat perkembangan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty. Kedua, perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 dengan memangkas pengeluaran sebesar Rp 50 triliun. Sebab, penerimaan pajak masih seret.
(Baca: BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II Lebih Tinggi)
Awal Mei lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal I-2016 sebesar 4,92 persen. Pencapaian ini di bawah target BI dan sejumlah ekonom yang semula memprediksi pertumbuhan ekonomi bisa di atas 5 persen. Pencapaian itu memang lebih baik dari kuartal sama tahun lalu yang sebesar 4,73 persen. Namun, jika dibandingkan secara kuartalan, pertumbuhan ekonomi kuartal I-2016 lebih rendah dibandingkan kuartal IV-2015 yang sebesar 5,04 persen.
Penyebabnya, konsumsi rumah tangga yang memberikan kontribusi terbesar terhadappertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran yaitu 56,9 persen, hanya tumbuh 4,94 persen. Angkanya hanya naik tipis dibandingkan kuartal IV-2015 yang sebesar 4,92 persen.
Adapun Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), yang menempati posisi kedua kontributor terbesar yaitu 33 persen, hanya tumbuh 5,57 persen. Angkanya lebih rendah dibandingkan kuartal IV-2015 yang tumbuh 6,9 persen. Sebab, meski pemerintah menggenjot belanja modal, porsinya terhadap PMTB hanya 10 persen. Jadi, porsi terbesar adalah investasi swasta. Sekadar informasi, PMTB merupakan pengeluaran untuk barang modal sebagai investasi, seperti untuk bangunan, jalan dan bandara, serta mesin dan peralatan.