Belanja Negara Terancam Dipotong Rp 200-300 Triliun
Penerimaan dan anggaran negara tahun ini berpotensi bolong lebih besar akibat ketidakpastian penerapan kebijakan pengampunan pajak (Tax Amnesty). Ekonom menyarankan pemerintah lebih berani memperlebar defisit anggaran, ketimbang memangkas belanja besar-besaran karena mengancam laju pertumbuhan ekonomi.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengaku telah menghitung potensi penerimaan negara dari tax amnesty sekitar Rp 165 triliun. Nilai itu pun dengan asumsi konservatif, yaitu aset yang direpatriasi (dibawa masuk ke dalam negeri) sebesar Rp 1 ribu triliun dan aset yang cuma dideklarasikan sebanyak Rp 4 ribu triliun.
Perkiraan itu berdasarkan data yang diperoleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dari otoritas pajak negara lain, bahwa ada 6.500 warga negara Indonesia (WNI) yang menempatkan dananya di luar negeri. “Kami ambil angka konservatif Rp 4 ribu triliun untuk deklarasi saja, lalu kalau dikalikan (rata-rata tarif tebusan) 4 persen, maka dapat Rp 160 triliun. Di APBN kami taruh (estimasi) Rp 165 triliun,” kata Bambang saat Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi Keuangan di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (7/6) malam.
(Baca: Tiga Skenario Pemerintah jika Tax Amnesty Gagal)
Pemerintah memang tak mencantumkan secara jelas besaran penerimaan tax amnesty dalam draf Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016. Namun, dibandingkan APBN 2016, ada kenaikan target pajak penghasilan (PPh) Nonmigas sebesar Rp 104 triliun menjadi Rp 819,5 triliun.
Persoalannya, hingga kini pembahasan rancangan undang-undang (RUU) pengampunan pajak di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih berlarut-larut. Menurut sumber Katadata, sejumlah pasal masih diperdebatkan dalam pembahasan Daftar Investarisasi Masalah (DIM). Misalnya, terkait periode waktu pengampunan pajak.
Padahal, pemerintah berharap beleid itu dapat rampung medio Juni ini sehingga bisa mulai berlaku awal Juli mendatang. Kalau tidak, anggaran negara bakal terganggu. Bambang menaksir, pemerintah terpaksa memangkas belanja jika penerimaan tanpa dana tax amnesty. Nilai pemotongannya bisa mencapai Rp 250 triliun. “Tentu akan sangat berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi secara langsung,” katanya.
(Baca: Yakin Tax Amnesty Sukses, Pemerintah Naikkan Target Pajak Penghasilan)
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Lana Soelistianingsih juga pesimistis dengan target penerimaan tax amnesty. Dia memperkirakan, potensi penerimaan dari kebijakan itu hanya berkisar Rp 50-60 triliun. Sebab, sekalipun disetujui oleh DPR pada bulan ini, penerapannya kemungkinan paling cepat Agustus nanti. Sementara wajib pajak membutuhkan waktu untuk menimbang-timbang aset yang akan dilaporkan. Alhasil, penerimaan itu baru bisa didapat di akhir tahun dan belum tentu sesuai target.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo juga tak yakin dengan potensi penerimaan dari tax amnesty.
Sebab, sebagian aset warga Indonesia sudah kembali ke dalam negeri berbentuk back to back loan.
Ia memperkirakan, potensi penerimaan dari kebijakan itu berkisar Rp 90 triliun sampai Rp 100 triliun. Itu dengan asumsi tarif tebusan lebih tinggi dari rencana pemerintah, yaitu rata-rata empat persen untuk yang merepatriasi asetnya dan enam persen bagi yang mendeklarasikan saja asetnya.
Berdasarkan risiko tersebut, Lana memandang pemerintah perlu menyediakan alternatif pendanaan untuk memastikan belanja negara tidak tersendat. Alternatif yang paling mungkin adalah meminjam Saldo Anggaran Lebih (SAL), lalu dikembalikan setelah tax amnesty membuahkan hasil.
(Baca: Penerimaan Negara Seret, Defisit Anggaran Bengkak Jadi 2,5 Persen)
Jika tidak ada kepastian pendanan, Lana khawatir belanja pemerintah akan terganggu sehingga berujung pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan sebesar 5,3 persen tahun ini. “Kalau andalkan tax amnesty, (dananya) baru terkumpul di Desember. Kan masuknya sebagian-sebagian, padahal belanja pemerintah sudah harus mulai setiap bulan,” katanya kepada Katadata, Rabu (8/6).
Lana memperkirakan pemerintah harus memangkas belanja sekitar Rp 199 triliun kalau penerimaan dari tax amnesty hanya Rp 60 triliun. Bahkan, jika tax amnesty itu gagal dilaksanakan tahun ini, perkiraannya pemerintah harus memangkas belanja hingga Rp 299 triliun.
Selain itu, tanpa adanya kepastian belanja yang meningkat per kuartal, dia memperkirakan ekonomi sampai akhir tahun nanti hanya tumbuh 4,9 persen. Sebab, pemerintah sudah kehilangan momentum tumbuh besar pada kuartal I dan II. Bahkan, berpotensi kehilangan momentum lagi di kuartal III lantaran Kementerian dan Lembaga (K/L) menahan belanja menunggu kepastian RAPBN-P 2016.
Menghadapi kondisi sulit tersebut, Lana mengusulkan agar pemerintah berani menggunakan ruang defisit anggaran pemerintah daerah (pemda) sebesar 0,5 persen.
Alhasil, defisit pemerintah pusat diperlebar menjadi 2,8 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Jumlahnya lebih tinggi dari target defisit dalam RAPBN-P 2016 yang sebesar 2,48 persen.
(Baca: Revisi APBN 2016, Pemerintah Dinilai Terlalu Optimistis)
Menurut Lana, pelebaran defisit ke kisaran 2,8 persen atau 2,9 persen masih bisa ditolerir karena tidak melebihi aturan yaitu sebesar 3 persen. Dengan begitu, target pertumbuhan ekonomi tahun ini tidak terganggu gara-gara ketidakpastian dana tax amnesty. “Perlu keberanian pemerintah, apakah bertahan dengan (asumsi defisit) 2,48 persen dan asumsi potensi tax amnesty Rp 165 triliun, atau mau melebar ke 2,8-2,9 persen dengan asumsi tax amnesty Rp 60 triliunan,” katanya.