Lembaga Keuangan Dunia Ramai-ramai Pangkas Pertumbuhan Ekonomi

Maria Yuniar Ardhiati
10 Juni 2016, 17:50
Gedung pertumbuhan
Arief Kamaludin|KATADATA

Negara-negara dunia sedang memusatkan perhatian pada isu pertumbuhan ekonomi yang rendah. Bank sentral Jepang dan (Bank of Japan) serta bank sentral Eropa (European Central Bank) terus melonggarkan kebijakan mereka, dengan suku bunga yang sudah menyentuh level negatif. Sementara itu sejak Maret hingga saat ini, bank sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve (The Fed) tak kunjung menaikkan suku bunga acuannya.

“Bank sentral dan pasar takut, seakan-akan pertumbuhan tidak akan membaik lagi,” kata Kepala Ekonom Development Bank of Singapore (DBS) David Carbon melalui keterangan resmi, Kamis, 9 Juni 2016. (Baca: Yang Terjadi Saat Ini Bukanlah Krisis).

Sejak awal tahun hingga saat ini, Bank Dunia telah dua kali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi. Revisi pertama dilakukan pada pertengahan Januari lalu. Lembaga keuangan internasional itu memprediksi pertumbuhan tahun ini tiga persen dan 3,3 persen untuk tahun depan. Target tersebut lebih rendah dari perkiraan bulan Juni sebesar 3,4 dan 3,5 persen.

Awal bulan Juni, Bank Dunia kembali merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi global, dari 2,9 menjadi 2,4 persen. Pemangkasan kali ini dilakukan setelah Bank Dunia mengamati perlambatan pada pertumbuhan negara-negara maju.

Hal serupa juga dilakukan Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF). Pada Januari lalu, lembaga ini memperingatkan adanya risiko substansial di negara berkembang. IMF pun memprediksi perekonomian dunia tumbuh 3,4 persen tahun ini atau turun 0,2 persen dari proyeksi pada Oktober tahun lalu.

Di bulan April 2016, revisi kembali dilakukan IMF. Lembaga ini memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun ini 3,2 persen, atau turun dari 3,4 persen. Perlambatan ekonomi Cina serta lemahnya harga minyak ikut andil dalam pemangkasan proyeksi pertumbuhan tersebut. (Baca: Bank Mandiri: Pertumbuhan Ekonomi 2016 Paling Tinggi Hanya 5 Persen).

Pekan ini, pemerintah akhirnya mengubah target pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,3 menjadi 5,1 persen untuk 2016. Dalam rapat dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat tentang pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2016, Menteri Koordinator Bidan Perekonomian menyebutkan ada sejumlah pertimbangan. Salah satunya adalah pemangkasan proyeksi pertumbuhan oleh Bank Dunia.

Sebelumnya pada Mei kemarin, Bank Indonesia merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini lima hingga 5,4 persen. Angka tersebut lebih rendah dibanding prediksi terdahulu sebesar 5,2 hingga 5,6 persen.

DBS menilai saat ini yang terjadi bukan akibat dampak kebijakan moneter di masa lalu, melainkan turunnya pertumbuhan populasi. Selain itu, masyarakat pun mulai memasuki usia tua. Carbon menuturkan, jika kedua hal itu dikombinasikan, maka yang terjadi adalah penurunan pertumbuhan tenaga kerja. Persoalan ini dihadapi Amerika Serikat, Eropa, Jepang, dan hampir semua negara Asia.

Carbon menyebut Jepan sebagai contoh. Pertumbuhan populasi di sana tercatat 0,2 persen per tahun, Namun, jumlah penduduk dengan usia produktifnya berkurang 1 persen setiap tahunnya. Di Eropa, populasi penduduk usia bekerja turun hingga nol persen bahkan di bawahnya. Sementara itu, Amerika Serikat mengalami penurunan populasi usia produktif dari 1 persen di tahun 2008 menjadi 0,4 persen.

Karena pertumbuhan populasi pekerja dan usia produktif berdampak pada pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) suatu negara maka, “Pertumbuhan PDB pun merosot tajam seperti halnya pertumbuhan populasi usia bekerja,” ujar Carbon. (Baca: Pertumbuhan Ekonomi Kuartal I-2016 Meleset di Bawah Target)

Di negara-negara maju, pertumbuhan usia produktif 1,5 persen per tahun sudah sangat baik karena kelompok tersebut tidak pernah mencapai level tertinggi ini dalam 10-15 tahun terakhir. Di Jepang, potensi pertumbuhan PDB sebesar 0,5 persen per tahun. Sementara itu di Eropa dan Amerika Serikat masing-masing 1,5 dan 1,9 persen.

Hampir di setiap negara, realisasi pertumbuhan PDB melebihi angka potensialnya. Jepang diperkirakan mencapai pertumbuhan 1,2 persen selama empat tahun mendatang. Carbon menuturkan, saat ini setiap negara cemas akan pertumbuhan yang rendah karena tidak menyadari adanya penurunan pertumbuhan penduduk usia bekerja.

David Carbon
David Carbon (Arief Kamaludin|KATADATA)

Namun yang terjadi di Asia bukan hanya karena penurunan pertumbuhan penduduk usia produktif, tapi juga peningkatan penghasilan. Carbon menuturkan, saat penghasilan masyarakat meningkat, pertumbuhan produktivitas akan menurun. Di Jepang, pertumbuhan terjadi dengan pesat pada tahun 1950-an dan 1960-an. Saat upah dan penghasilan masyarakat di sana naik, pertumbuhan pun beralih ke Singapura dan Hong Kong, yang kemudian diikuti Korea, Taiwan, Malaysia, Thailand, Cina dan seterusnya.

Peningkatan penghasilan merupakan penyebab utama turunnya pertumbuhan PDB. “Tidak ada seorang pun yang menginginkan lambatnya pertumbuhan. Namun, yang paling penting adalah naiknya penghasilan,” kata Carbon.

Ia mengingatkan, mesti perlambatan pertumbuhan ekonomi terjadi di Asia, peralihan akselerasi terjadi dari Barat ke Timur. Saat ini pertumbuhan di Asia mencapai US$ 1 triliun per tahun. Dengan pencapaian ini, Asia mampu menciptakan “Jerman” baru  ke peta perekonomian dunia dalam 3,2 tahun.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...