Asumsi Minyak US$ 40, Penerimaan Negara Tambah Rp 3,3 Triliun
Pemerintah menaikan asumsi harga minyak Indonesia, Indonesia Crude Price (ICP), menjadi US$ 40 per barel ketika rapat dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR. Sebelumnya, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2016, harga “emas hitam” itu tercatat US$ 35 per barel.
Kendati lebih tinggi dari usulan semula, keputusan ini lebih rendah dibanding kesepakatan di Komisi Energi DPR yang menetapkan ICP US$ 45 per barel. (Baca: Di Atas RAPBN-P 2016, Menteri ESDM Usul Harga Minyak ICP US$ 40).
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral I Gusti Nyoman Wiratmadja Puja menyatakan penetapan US$ 40 per barel berdasarkan rata-rata ICP sejak awal 2016 hingga Juni sebesar US$ 36 per barel.
Selain itu, melihat perkembangan harga minyak mentah dunia saat ini, rata-rata ICP hingga akhir tahun diperkirakan US$ 50 per barel. Dengan perhitungan itu, pemerintah usul agar asumsi ICP menjadi US$ 40 per barel. (Baca: Produksi Turun, Harga Minyak Indonesia Melonjak 20 Persen)
Kalau mau sampai US$ 45 per barel, harga ICP harus US$ 59 per barel hingga akhir tahun. Itu sulit,” kata Wiratmadja saat rapat kerja dengan Banggar DPR, Rabu, 15 Juni 2016.
Seiring dengan kenaikan asumsi tersebut, penerimaan negara juga akan meningkat, khususnya dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pajak Penghasilan (PPh) Migas. Peningkatan penerimaan ini dihitung dari lifting minyak dan gas dikalikan dengan harga minyak. Apalagi lifting minyak dan gas masing-masing dipatok 820 ribu barel per hari dan 1,15 juta barel setara minyak per hari.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara mengatakan setiap kenaikan ataupun penurunan asumsi ICP sebesar US$ 1 per barel akan berpengaruh Rp 660 miliar terhadap penerimaan. Karena itu, jika harga ICP naik US$ 5 per barel, peneriman bertambah Rp 3,3 triliun. (Baca: OPEC Tanpa Keputusan, Harga Minyak Tembus US$ 50 per Barel).
Adapun dalam nota keuangan RAPBN-P 2016 disebutkan bahwa setiap kenaikan atau penurunan US$ 1 per barel akan berpengaruh terhadap PPh migas sebesar Rp 774,3 miliar dan Rp 2,6 triliun terhadap PNBP migas. “Tetapi subsidi kan juga naik, solar harus impor. Tetapi netto-nya positif, walau sedikit,” kata Suahasil.
Namun dia belum menghitung besaran subsidi energi -yang ditetapkan sebesar Rp 97,8 triliun dalam RAPBN-P 2016- atas imbas kenaikan harga minyak. Yang jelas, kata Suhasil, akan ada perubahan besaran anggaran subsidi energi, seperti listrik yang ditetapkan Rp 57,2 triliun serta BBM dan elpiji Rp 40,6 triliun. (Baca: Peningkatan Kapasitas Kilang Picu Lonjakan Impor Minyak Mentah).
Selain karena subsidi energi, tertahannya penerimaan negara karena kenaikan ICP juga dipengaruhi oleh anggaran untuk pengembalian biaya atas operasi kegiatan eksplorasi (cost recovery) yang sudah diturunkan dari US$ 11 miliar menjadi US$ 8 miliar. Besaran anggaran ini lebih rendah dari kesepakatan di Komisi Energi yang menetapkan US$ 9,4 miliar.
Bahkan, tadinya Banggar mengusulkan agar anggaran ini ditunda tahun depan. Alasannya, dapat menambah beban pengeluaran pemerintah sehingga bisa meningkatkan defisit anggaran yang saat ini sudah ditarget 2,48 persen. Tetapi tawaran ini ditolak oleh Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas Amin Sunaryadi. Ia mengatakan pengurangan atau bahkan penundaan cost recovery akan berpengaruh terhadap produksi.
Dalam RAPBN-P 2016, pemerintah mengusulkan target penerimaan PPh migas sebesar Rp 24,3 triliun, lebih rendah Rp 17,1 triliun dibanding APBN 2016. Begitu juga dengan PNBP Migas dipatok Rp 28,4 triliun, lebih kecil dibandingkan APBN 2016 yang ditetapkan Rp 78,6 triliun.