Pemerintah Siapkan Insentif Agar Blok East Natuna Cepat Produksi
Pemerintah tengah mengkaji beberapa insentif yang akan diberikan kepada kontraktor untuk mengembangkan Blok East Natuna. Pertimbangannya, eksplorasi di blok itu sudah dilakukan sejak 1973 silam, tapi sampai sekarang belum juga dapat berproduksi.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan, Internal Rate of Return (IRR) atau tingkat pengembalian investasi untuk mengembangkan Blok East Natuna sebesar 12 persen. Untuk mencapai tingkat tersebut, maka diperlukan beberapa insentif. (Baca: Pemerintah Siapkan Teknologi Khusus Pengembangan Blok East Natuna)
Pemerintah sebenarnya sudah memiliki beberapa opsi insentif untuk blok yang dioperatori oleh PT Pertamina (Persero). Pertama, insentif keringanan pajak atau tax holiday selama lima tahun. Kedua adalah jangka waktu kontrak lebih lama, yakni hingga 50 tahun.
Ketiga, bagi hasil yang lebih besar untuk kontraktor. Skenario terburuknya adalah 100 persen bagi hasil minyak dan gas bumi dari blok tersebut menjadi milik kontraktor. Itupun bagi hasil sebelum dikurangi dengan pajak.
Setidaknya ada dua faktor yang jadi pertimbangan pemerintah memberikan bagi hasil lebih besar untuk kontraktor. Pertama, keekonomian proyek tersebut. Kedua, pertimbangan pertahanan negara.
Blok ini memang berbatasan dengan Laut Cina Selatan, yang sedang menjadi sengketa beberapa negara. Jika pemerintah tetap bertahan menginginkan bagi hasil yang lebih besar maka dikhawatirkan proyek tersebut tidak akan terbangun. Alhasil, tujuan pertahanan negara tidak tercapai. (Baca: Laut Cina Memanas, Kontraktor Migas Diminta Buka Kantor di Natuna)
Menurut Wiratmaja, jika insentif itu tidak diberikan maka opsi lainnya adalah menunggu harga minyak mencapai level US$ 100 per barel agar mencapai tingkat keekonomian. “Ini yang sedang dikaji, mana yang lebih baik. Nanti pimpinan negara yang memutuskan,” kata dia di Jakarta, Kamis (30/6) pekan lalu.
Untuk mengembangkan Blok East Natuna memang membutuhkan biaya investasi yang besar. Sebab, gas yang ada di blok yang dulunya bernama Natuna D-Alpha ini memiliki kandungan karbondioksida (CO2) sebesar 72 persen. Padahal, volume gas di tempat atau Initial Gas in Place (IGIP) sebesar 222 triliun kaki kubik (tcf), dan cadangan terbuktinya 46 tcf.
Agar gas itu bisa dikomersialkan maka membutuhkan teknologi pemisahan CO2. Dari sisi teknologi, Wiratmaja mengatakan, sudah ada yang bisa memisahkan CO2 dari gas. Selain itu, teknologi injeksi CO2 juga ada. “Tinggal skalanya. Kalau skalanya terlalu kecil nanti terlalu mahal, jika besar prospektif untuk dikembangkan,” ujar dia.
Sedangkan Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam mengatakan, salah satu tantangan mengembangkan Blok East Natuna adalah teknologi. Sebab, teknologi untuk memisahkan karbondioksida itersebut mahal. Supaya bisa ekonomis, Pertamina juga berharap dukungan dari pemerintah. “Bisa kemudahan pajak, atau porsi bagi hasil,” ujar dia. (Baca: Perpanjangan Blok Natuna, di Antara Kepentingan Amerika dan Cina)
Saat ini, perusahaan pelat merah itu memiliki 35 persen hak kelola di Blok East Natuna. Porsi kepemilikannya sama dengan ExxonMobil, perusahaan asal Amerika Serikat, yaitu sebesar 35 persen. Sisanya dimiliki oleh Total E&P Indonesie dan PTT Thailand masing-masing 15 persen. Namun, hingga kini belum ada kontrak bagi hasil, hanya ada kesepakatan bersama.