Asosiasi Migas Usul Kerugian Negara Dihapus dari Aturan Cost Recovery
Para pelaku minyak dan gas bumi di Indonesia atau Indonesian Petroleum Association (IPA) mengusulkan beberapa poin perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2010. Di antaranya, aturan tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan (cost recovery) dan perlakuan pajak penghasilan di bidang usaha hulu migas perlu diubah agar investasi semakin menarik.
Berdasarkan dokumen "Suggestion for Revising Government Regulation No. 79/2010" yang disiapkan IPA dan akan diserahkan ke pemerintah, salah satu usulan dari asosiasi industri migas ini adalah menghapus klausul transaksi yang merugikan negara dalam aturan cost recovery. Pertimbangannya, keberadaan klausul tersebut berisiko menyebabkan adanya praktik kriminalisasi terhadap pelaku migas di kemudian hari. (Baca: Terbitkan Inpres, Jokowi Bentengi Proyek Strategis dari Kriminalisasi)
Klausul tersebut tercantum dalam Pasal 13 Ayat t 1. Yaitu, transaksi yang merugikan negara tidak dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan pajak penghasilan.
Selain itu, IPA juga meminta agar semua kegiatan migas dan sesuai dengan kontrak dapat dimasukkan sebagai faktor biaya operasi dan pengurangan pajak. Kegiatan tersebut yakni income tax allowance atau pendapatan dari pengurangan pajak.
Transaksi lainnya adalah pengadaan barang dan jasa serta kegiatan lain yang tidak sesuai dengan prinsip kewajaran atau melampaui 10 persen dari otoritasi, biaya konsultan pajak dan hukum, interest cost recovery. Ada juga insentif, dana pensiun, dan premi asuransi pekerja yang berhubungan dengan minyak dan gas yang beroperasi, termasuk bagi pekerja asing.
Selain itu, biaya pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat pada masa eksploitasi. Surplus material akibat kesalahan perencanaan dan pembelian juga diharapkan dapat dikembalikan. Termasuk nilai buku dan biaya pengoperasian aset yang telah digunakan, yang tidak dapat beroperasi lagi akibat kelalaian kontraktor.
IPA juga menginginkan penghapusan Pasal 12 Ayat 3 dalam beleid tersebut. Yaitu batasan maksimum biaya yang berkaitan dengan remunerasi tenaga kerja asing ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapatkan pertimbangan dari menteri yang bersangkutan.
Saat dikonfirmasi Katadata, Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Majong mengatakan klausul merugikan negara bukan menjadi fokus. Pelaku usaha migas hulu ini lebih fokus mengusulkan agar pemerintah kembali menerapkan prinsip assume and discharge untuk perpajakan atau pajak ditanggung pemerintah. Sebelum ada PP 79 tahun 2010, industri hulu migas juga memakai prinsip assume and discharge. Jadi, kontraktor migas harus membayar pajak langsung ke pemerintah dan langsung dikembalikan lagi.
“Tapi sesudah ada PP 79, prosesnya muter-muter,” ujar dia. “Ini menahan arus kas kontraktor”. (Baca: 23 Kontraktor Migas Terjerat Sengketa Pajak Rp 3,2 Triliun)
Marjolijn juga menginginkan agar pemerintah menghapus sejumlah pajak yang muncul setelah penerbitan PP 79. Sekadar informasi, sebelum ada peraturan pemerintah tersebut hanya ada pajak penghasilan dan pajak dividen atau Branch Profit Tax.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan pihaknya memang sudah mengusulkan penghapusan PP 79 tahun 2010. Tujuannya agar eksplorasi di blok migas dapat berkembang cepat. (Baca: KEN Rekomendasikan Pencabutan Aturan Cost Recovery dan PPh Hulu Migas)
Namun dia belum mau berkomentar banyak mengenai rekomendasi yang disampaikan oleh IPA. "Usulan apa saja boleh. Nanti kami bahas."