Sri Mulyani: Pertumbuhan Ekonomi Dunia Masih Rapuh
Managing Director dan Chief Operating Officer Bank Dunia Sri Mulyani Indrawati mengatakan ekonomi dunia saat ini masih rapuh. Berbagai faktor membuat pertumbuhannya makin menyusut.
“Kami di World Bank khawatir pertumbuhan ekonomi dunia yang rapuh,” kata kata Sri Mulyani saat seminar ‘Peranan Pemuda dalam Mensuskseskan Pembangunan Berkelanjutan yang Inklusif’ di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Selasa, 26 Juli 2016. (Baca: Pemerintah Jokowi Dinilai Masih Hadapi Risiko Perekonomian).
Dia menyebutkan ekonomi saat ini sedang mengalami perfect storm. Hal itu terutama dipicu oleh perubahan struktural ekonomi Cina. Pukulan selanjutnya datang dari Inggris setelah meninggalkan Uni Eropa sebagai langkah yang dikenal dengan Britain’s Exit (Brexit).
Perfect storm yang dimaksud yakni sejumlah peristiwa yang menyebabkan pelemahan ekonomi dan perdagangan dunia. Misalnya, hal itu karena perlambatan dan perubahan struktural ekonomi Cina, rendahnya harga-harga komoditas, menurunnya aliran modal ke negara berkembang, meluasnya konflik dan serangan teroris, serta perubahan iklim global.
Saat Cina mengubah struktur ekonomi dari berbasis investasi menjadi konsumsi, perlambatan ekonomi terjadi di negara-negara berkembang. Dalam catatannya, revisi penurunan ekonomi dunia 40 persen berasal dari pengekspor komoditas, salah satunya Indonesia. (Baca juga: Menteri Darmin Optimistis Ekonomi Semester I Tumbuh 5 Persen).
Tren perlambatan ini, kata Sri Mulyani, kemudian menjadi lebih lama ketika Inggris memutuskan keluar dari Uni Eropa. Padahal, setelah rentetan pengaruh Cina terhadap perekonomian global diperlukan kerja sama antarnegara untuk meningkatkan kepercayaan pasar.
Yang terjadi di dunia sebaliknya. Populisme tengah bangkit, bahkan meluas. Kesediaan untuk kerja sama antarnegara ada di titik terendah sepanjang sejarah. Keputusan Brexit, itu salah satu contohnya,” kata Sri.
Di lain kesempatan, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, seringnya revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global menunjukan bahwa kondisi saat ini lebih suram dibandingkan sebelumnya. Suram, kata dia, karena perlambatan ekonomi terjadi di banyak negara dan bahkan berpotensi menjadi makin lama. (Baca: IMF Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Global Akibat Brexit).
Meskipun ekonomi global masih bisa tumbuh di kisaran tiga persen, namun ada tanda-tanda bahwa dunia tengah kesulitan mencari sumber pertumbuhan ekonomi baru. “Meskipun International Monetery Fund hanya merevisi 0,1 persen (ekonomi global), tapi tendensi revisi ke bawah terjadi berulang-ulang. Ini menegaskan kondisi ekonomi global jauh dari cerah,” kata Bambang di Pacific Place, Jakarta. “Kenapa? Karena potensi slowdown ternyata terjadi dimana-mana.”
Gejolak pasar global saat ini, lanjut dia, berbeda dari krisis keuangan Asia yang masih bisa dipantau sejak jauh-jauh hari. Kondisi saat ini sulit ditebak sehingga sukar membuat kebijakan antisipasinya. Lebih bergejolak dibanding krisis 1997 dan 2000-an. Karena itu, setiap pengumuman ekonomi akan memicu naik-turunnya pasar seperti di saham, surat utang, atau ekonomi secara keseluruhan.
Karena itu, pemerintah harus memastikan fundamental ekonomi selalu baik, begitu pula dengan kondisi moneter. Bambang pun menegaskan bahwa penerapan pengampunan pajak (tax amnesty) akan memperkuat modal di dalam negeri sehingga menjadi lebih tahan terhadap guncangan global. Masuknya dana repatriasi diharapkan mendorong investasi di Tanah Air. (Lihat pula: Di Asia, India Paling Sedikit Terdampak Brexit).