Defisit Lebih 3 Persen, Chatib Basri Khawatir Dana Asing Kabur
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri memperingatkan risiko yang mungkin timbul dari kebijakan pelebaran defisit anggaran hingga melebihi batasan tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kebijakan itu bisa memicu hengkangnya dana asing (capital outflow) dari pasar modal dan keuangan Indonesia.
Menurut Chatib, pelebaran defisit anggaran hingga melebihi batas bukanlah hal yang bagus. Ia pun merujuk contoh beberapa negara yang mengalami arus keluar dana asing gara-gara memperlebar defisit anggaran.
Turki dan Brasil, misalnya, makin terpuruk pasca keluarnya dana asing sehingga berlanjut kepada perlambatan ekonominya. Sebaliknya, India bisa bangkit dari risiko capital outflow karena mampu mengurangi defisit anggarannya dari enam persen menjadi tiga persen.
Wacana pelebaran defisit anggaran di Indonesia mencuat lantaran penerimaan negara hingga paruh pertama tahun inin masih minim. Per akhir Juni lalu, realisasi pendapatan negara dan hibah Rp 634,7 triliun atau 35,5 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016. Sedangkan realisasi belanja Rp 865,4 triliun atau 41,5 persen dari pagu APBNP 2016.
Alhasil, defisit anggaran per Juni 2016 mencapai Rp 276,6 triliun atau 1,83 persen dari PDB. Nilainya mendekati target defisit dalam APBNP 2016 yang sebesar Rp 296,7 triliun atau 2,35 persen.
(Baca: Pelebaran Defisit, Darmin: Jangan Sampai Utang Bablas)
Pemerintah sebenarnya berharap tambahan penerimaan dari kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) sebesar Rp 165 triliun. Namun, banyak pihak meragukan target itu bakal tak tercapai sehingga defisit anggaran bisa melampaui tiga persen seperti ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Belakangan, muncul wacana menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) agar defisit bisa diperlebar melebihi tiga persen.
Namun, menurut Chatib, banyak investor saat ini meninggalkan negara yang mengalami defisit anggaran besar.
Lalu, memasukkan dananya ke negara-negara yang pasarnya tengah berkembang (emerging market). Itulah yang menyebabkan dana asing masuk ke Indonesia sehingga mata uang rupiah dan harga Surat Utang Negara (SUN) meningkat.
(Baca: Defisit Anggaran Terancam Lewati Batas 3 Persen)
Menurut Chatib, kondisi Indonesia saat ini sudah lebih positif dibandingkan negara lain, baik dari sisi pertumbuhan ekonomi maupun kondisi fiskal. Singapura dan Australia, misalnya, hanya tumbuh 2,5 persen dan 2 persen. Adapun Brasil terkontraksi hingga 3,8 persen dengan defisit anggaran yang mendekati 10 persen.
Berdasarkan kondisi itulah, Ekonom dari Universitas Indonesia ini mengkhawatirkan pelebaran defisit anggaran akan menyebabkan hengkangnya dana asing.
“Yang membuat orang (asing) yakin sama Indonesia itu budget deficit kita tidak akan lebih dari tiga persen. Jadi tidak akan punya masalah dengan utang,” kata Chatib di Jakarta, Kamis (28/7). Sebab, kalau defisit yang membesar dibiayai dengan utang sedangkan peningkatan jumlah utang akan memperbesar risiko.
Jika melongok ke belakang, rasio utang Indonsia pernah melebihi 100 persen terhadap PDB pada 1998. Kondisi itu kemudian membuat terpuruknya ekonomi. Saat ini, kondisinya membaik dengan rasio utang hanya sekitar 26 persen.
Hal itulah yang membuat lembaga pemeringkat internasional memberikan predikat layak investasi atau investment grade kepada Indonesia. Namun, jika utang meningkat dan tak terkendali, maka akan menimbulkan risiko. “Perlu diingat alasan kenapa Standard and Poor’s (S&P) tidak memberikan investment grade (kepada Indonesia), karena masalah fiskal,” kata Chatib.
(Baca: Pajak Seret, Defisit Anggaran Naik Rp 42,7 Triliun dalam Sebulan)
Di sisi lain, kalau defisit anggaran dibatasi maksimal tiga persen maka pemerintah terdorong membelanjakan anggarannya secara efektif dan efisien.
Pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), misalnya, yang dialihkan untuk belanja produktif seperti infrastruktur. “Batasan (defisit anggaran) tiga persen itu yang selama ini menyelamatkan Indonesia dalam hal kepercayaan investor.”
Chatib menyadari, banyak orang mengharapkan pertumbuhan ekonomi tinggi. Namun, pertumbuhan di kisaran 5-5,1 persen saat ini pun sebenarnya sudah cukup bagi di Indonesia dibandingkan negara-negara lain di kawasan regional. Negara lain yang menggantungkan penerimaan dan ekonominya pada sumber daya alam (SDA) justru mengalami pertumbuhan negatif atau maksimal hanya tumbuh satu persen.
Meskipun untuk mencapai pertumbuhan lebih dari lima persen itu membutuhkan usaha keras dari pemerintah, terutama mendorong penerimaan untuk memastikan pembangunan infrastruktur tetap berlanjut. “Kalau kita bisa perlahan tumbuh ke arah lebih tinggi, tentu bagus. Tapi kita harus realistis dengan kondisi eksternal yang dihadapi.”