Kontrak Blok East Natuna Terganjal Skema Bagi Hasil
Penandatanganan kontrak bagi hasil (PSC) Blok East Natuna masih terganjal besaran bagi hasil minyak dan gas bumi (migas) yang diterima oleh kontraktor dan pemerintah. Saat ini belum ada kesepakatan antara pemerintah dan calon kontraktor.
Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan sedang menghitung besaran porsi bagi hasil yang diperoleh dari kontrak Blok East Natuna. Ada beberapa pertimbangan dalam menentukan besaran bagi hasil, di antaranya terkait kandungan karbondioksida (CO2) ada di blok tersebut. (Baca: Pemerintah Siapkan Teknologi Khusus Pengembangan Blok East Natuna).
Kandungan CO2 yang mencapai 72 persen tentu akan mempengaruhi biaya yang dikeluarkan kontraktor. Karena itu, menurut Luhut, besaran bagi hasil harus disesuaikan dengan kesulitan lapangan sehingga tidak bisa lagi hanya mengandalkan skema lama.
Tapi, besaran tersebut masih perlu pembahasan dengan Kementerian Keuangan. “Masalahnya lagi di (Kementerian) Keuangan. Tidak bisa lagi membuat uniform 85:15 begitu atau 80:20, kami mencoba melihat setiap lapangan itu kesulitannya bagaimana dari situ dibicarakan,” kata Luhut usai rapat dengan Komisi Energi DPR di Jakarta, Kamis, 1 September 2016.
Di sisi lain, Luhut juga sudah memanggil ExxonMobil Indonesia pagi tadi untuk mempercepat penandatangan kontrak. Dalam pertemuan tersebut, pemerintah meminta ExxonMobil bersama pemegang konsorsium lainnya, Pertamina dan PTT Thailand, bisa segera mengoperasikan blok tersebut.
Menteri Koordnator Bidang Kemaritiman ini juga ingin agar gas Blok East Natuna dialokasikan seluruhnya untuk dalam negeri. “Oleh karena itu cost-nya juga bisa turun,” ujar dia. (Baca: Pemerintah Siapkan Insentif Agar Blok East Natuna Cepat Produksi).
Mengenai kandungan CO2 yang mencapai 72 persen, ExxonMobil, kata Luhut, sudah menyampaikan ada teknologi untuk mengatasinya. Hanya saja, saat ini masih membahas besaran biaya yang dikeluarkan untuk teknologi itu.
Sementara itu, Direktur Utama PT Pertamina Dwi Soetjipto mengatakan teknologi pemisahan CO2 dengan gas sebenarnya sudah umum. Kendalanya hanya volume dari gas tersebut sangat besar. “Sekarang tinggal jumlahnya yang besar itu membutuhkan biaya,” ujar dia.
Untuk itu, menurut Dwi, Blok East Natuna itu tidak akan ekonomis jika pembagian bagi hasilnya adalah 85 persen untuk pemerintah dan sisanya untuk kontraktor. Salah satu opsi agar bisa jalan adalah bagian kontraktor lebih besar yakni 60 persen.
Bisa juga skema bagi hasil menggunakan sliding scale atau berfluktuatif berdasarkan harga minyak dunia atau produksi. Selain itu, dalam kontrak juga akan ada beberapa insentif. “Masih dalam pembicaraan. “Tentu saja berapa yang akan diusulkan itu tergantung konsorsium,” kata dia.
Mengenai pemegang konsorsium yang akan melanjutkan proses penandatangan kontrak adalah Pertamina, ExxonMobil, dan PTT EP. Tapi Dwi tidak menutup kemungkinan Petronas untuk bergabung. “Bisa saja dalam perjalanannya masuk tetapi dia nanti mengambil dari porsinya yang mana kan,” katanya. (Baca: Menteri Luhut Ajak Petronas Ikut Garap Blok Migas di Natuna)
Untuk tahap awal, blok ini akan memproduksi minyak terlebih dulu sebelum memproduksi gas. “Sekarang pembicaraannya masih di minyak saja karena gasnya masih harus dikaji,” kata dia.