Sri Mulyani Setuju, Revisi Aturan Cost Recovery Migas Siap Dirilis
Pemerintah akhirnya merampungkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 tentang biaya operasi yang dapat diganti atau cost recovery dan pajak penghasilan di industri hulu minyak dan gas bumi. Revisi aturan ini diharapkan bisa menggairahkan investasi di industri hulu migas.
Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, revisi aturan itu akan segera diumumkan. “Hari Jumat besok kami umumkan bersama dengan Menteri Keuangan (Sri Mulyani),” kata dia saat rapat kerja dengan Komisi Energi (Komisi VII) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Kamis (22/9).
Menurut dia, aturan ini akan berdampak pada investasi di sektor migas. Alasannya, revisi aturan ini memberikan berbagai kemudahan bagi para investor migas agar bisa menarik investasi. (Baca: Empat Insentif dalam Revisi Aturan Cost Recovery dan Pajak Migas)
Sebelumnya, Luhut pernah mengatakan, adanya aturan baru itu membuat tingkat pengembalian investasi (Internal Rate of Return/IRR) proyek hulu migas meningkat menjadi 15 persen. Selain itu, ada insentif pajak seperti pembebasan pajak selama masa eksplorasi.
Di samping itu, aturan itu akan menyoroti mengenai penetapan cost recovery. Salah satu fokusnya adalah masa depresiasi yang akan diperpanjang. “Depresiasi pipa, ada yang 8 tahun. Tapi, masak pipa 8 tahun sudah rusak,” ujar dia.
Pemerintah juga akan menekankan mengenai tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Luhut mengatakan, saat ini penggunaan komponen lokal sangat sedikit sehingga TKDN banyak yang tidak terpakai.
Selain itu, mengatur perbedaan antara sumur satu dengan yang lain. SKK Migas akan menghitung secara detail besaran biaya tersebut dan menentukan biaya yang bisa dikembalikan. “Satu sisi akan memberikan kemudahan kepada investor. Di sisi lain kita akan juga detail per item bicara di investasi mereka,” kata Luhut. (Baca: Saat DPR dan Para Bos Migas Rapat Cost Recovery di Hotel Mewah)
Di tempat yang sama, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I.G.N Wiratmaja Puja mengatakan, aturan itu juga mengatur masa transisi. Dalam masa peralihan, kontraktor yang semula masih menerapkan PP 79 Tahun 2010 boleh menyesuaikan dengan revisi terbarunya.
Harapannya, kontraktor migas dapat melakukan eksplorasi secara masif dengan blok-blok yang ada. Dengan begitu, dapat mencapai rasio cadangan migas atau reserve replacement ratio (RRR) di atas 100 persen.
Sementara itu, anggota Komisi VII DPR Kurtubi mempertanyakan pembebasan pajak selama masa eksplorasi. Hal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas. “Lex specialis itu tidak ada dengan keluarnya pasal tersebut,” ujar dia. (Baca: Revisi Aturan Pajak Hulu Migas 2010 Dinilai Salah Sasaran)
Pasal 31 UU Migas ini mengatur mengenai penerimaan negara. Ayat 1 berbunyi, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu wajib membayar penerimaan negara yang berupa pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Penerimaan negara yang berupa pajak,terdiri atas pajak-pajak, bea masuk, dan pungutan lain atas impor dan cukai, pajak daerah dan retribusi daerah. Sementara Penerimaan Negara Bukan Pajak terdiri atas bagian negara, pungutan negara yang berupa iuran tetap dan iuran Eksplorasi dan Eksploitasi dan bonus-bonus.