Kementerian Keuangan Rilis Dua Aturan Kemudahan Tax Amnesty
Kementerian Keuangan terus memperbaiki peraturan dan pelaksanaan program pengampunan pajak atau amnesti pajak (tax amnesty) agar memudahkan wajib pajak mengikuti program tersebut. Yang terbaru, menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141 Tahun 2016 yang merevisi PMK Nomor 118/PMK.03/2016 mengenai Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, revisi aturan itu untuk memudahkan proses administrasi amnesti pajak sehingga wajib pajak masih bisa mengikuti periode pertama program tersebut dengan tarif tebusan terendah hingga akhir September ini. Jadi, wajib pajak dapat menyelesaikan proses administrasi dengan melampirkan rincian harta paling lambat Desember 2016. Syaratnya, Surat Pelaporan Harta (SPH) serta tarif tebusan tetap harus diselesaikan pada bulan ini.
"Jumat kemarin sudah diundangkan, hari ini (Senin) harusnya keluar PMK Nomor 141," kata Mardiasmo di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (26/9). (Baca: Pemerintah Perpanjang Waktu Proses Administrasi Tax Amnesty)
Selain PMK itu, dia mengatakan, Direktorat Jenderal Pajak juga akan mengeluarkan satu Peraturan Dirjen Pajak pada hari ini. Aturan tersebut akan menjadi pegangan Kantor Wilayah (Kanwil) serta pegawai pajak dalam mempermudah proses administrasi tersebut. "Agar tidak ada keraguan bagi para pegawai pajak," kata Mardiasmo.
Namun, dia menegaskan, tidak ada keringanan administrasi bagi peserta amnesti pajak yang lupa atau tidak melaporkan hartanya pada periode pertama program amnesti pajak. Karena itu, Mardiasmo meminta agar seluruh harta dapat dilaporkan secara penuh paling lambat 30 September mendatang. "Jadi kalau bisa ya harus full disclosed."
Tak cuma itu, Mardiasmo menyatakan, Kementerian Keuangan juga menerbitkan PMK Nomor 142 terkait kepemilikan aset berupa perusahaan untuk tujuan khusus atau Special Purpose Vehicle (SPV). Aturan ini juga merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 127. Dalam Pasal V PMK 127 tersebut dinyatakan bahwa wajib pajak yang mengikuti amnesti pajak wajib membubarkan SPV.
(Baca: Bahas Tax Amnesty, Jokowi Makan Malam dengan Konglomerat di Istana)
Belakangan, pemerintah mengakomodasi aturan itu berdasarkan masukan dari para pengusaha. "Kami relaksasi karena membubarkan perusahaan cangkang tidak mudah," kata Mardiasmo. Dalam PMK terbaru itu, pemerintah tidak mewajibkan pembubaran SPV yang tidak aktif. Namun, wajib pajak harus melakukan deklarasi kepemilikan SPV itu dengan tarif tebusan 4 persen dari nilai perusahaan tersebut.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Penerimaan Negara Astera Primanto Bhakti mengatakan, pihaknya akan merelaksasi aturan itu namun wajib pajak harus membayar tarif tebusan senilai tebusan luar negeri. "Jadi kalau wajib pajak tidak ingin bubarkan SPV, silakan saja. Tapi kena tarif (deklarasi) luar negeri karena kami anggap kepemilikan aset yang dideklarasi adalah SPV-nya," katanya.
Melalui revisi dua PMK itu, pemerintah seakan menjawab keluhan para pengusaha yang menganggap masa periode pertama program pengampunan pajak terlalu singkat. Tanpa memperpanjang batas waktu periode pertama, pengusaha menyambut baik keputusan pemerintah. (Baca: Aturan Pengalihan Aset Perusahaan Cangkang Sudah Terbit)
Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P. Roeslani mengatakan, pemerintah belum bisa memperpanjang periode pertama tax amnesty. Namun, Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani bersedia memberikan kelonggaran penyelesaian proses administrasinya hingga akhir tahun ini. “Jadi kalau untuk deklarasi atau repatriasi tetap harus bayar tebusan, tapi administrasinya menyusul, sampai Desember diperbolehkan,” kata dia usai acara makan malam pengusaha dengan Jokowi pekan lalu.