Deklarasi 20 Persen dari PDB, Tax Amnesty Indonesia Cetak Rekor
Periode pertama program pengampunan pajak atau amnesti pajak (tax amnesty) akan berakhir Jumat besok (30/9). Meski masih ada enam bulan tersisa, program amnesti pajak di Indonesia ini sudah mencetak rekor dan dinilai mengungguli negara-negara lain yang pernah melaksanakan program serupa.
Mengacu pada data Center For Indonesia Taxation Analysis, program amnesti pajak di Indonesia mencetak rasio tertinggi dalam pengungkapan (deklarasi) harta terhadap produk domestik bruto (PDB). Per Rabu (28/9), nilai deklarasi harta mencapai Rp 2.514 triliun atau menembus 20 persen terhadap PDB.
Rasio tersebut lebih tinggi dibandingkan Chili yang pernah mencatat rekor deklarasi kurang dari Rp 500 triliun. Jumlah ini hampir setara dengan 10 persen terhadap PDB negara tersebut, saat melaksanakan amnesti pajak tahun lalu. (Duit Tebusan Tax Amnesty Lampaui Banyak Prediksi)
Indonesia juga mencatat prestasi dalam soal penerimaan negara dari duit tebusan tax amnesty, meski secara rasio terhadap PDB belum yang tertinggi di dunia. Hingga kemarin, perolehan duit tebusan termasuk pembayaran tunggakan dan bukti permulaan mencapai Rp 81,1 triliun. Jumlahnya setara dengan sekitar 1 persen terhadap PDB.
Sementara ini, pencapaian tersebut masih kalah dari Kazakhstan yang dana tebusannya sekitar 2,5 persen terhadap PDB pada 2011. Namun, Indonesia sudah berhasil mengungguli sejumlah negara yang pernah menjalankan program amnesti pajak.
Antara lain Irlandia (1993), India (1997), Afrika Selatan (2003), Jerman (2004), Portugal (2005), dan Belgia (2006). Selain itu, Italia (2001 dan 2009), Spanyol (2012), Australia (2014), dan Chili (2015). Berbagai negara itu hanya meraup penerimaan tebusan tax amnesty kurang satu persen terhadap PDB masing-masing negara tersebut.
Meski sudah mencatat rekor, pencapaian tax amnesty Indonesia masih di bawah target pemerintah, yaitu deklarasi harta sebesar Rp 4.000 triliun dan penerimaan tebusan Rp 165 triliun untuk anggaran negara 2016. Selain itu, ada target repatriasi dana sebesar Rp 1.000 triliun, yang realisasinya sampai sekarang baru sekitar Rp 128 triliun. Target-target ini masih bisa dikejar pada sisa enam bulan program tax amnesty.
(Baca juga: Banjir Dana Repatriasi, Rupiah Tembus Level 12 Ribuan per Dolar)
Pengamat Pajak dari Center For Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo mengatakan, pemerintah masih perlu mengoptimalkan pencapaian dana repatriasi. Ia mendorong pemerintah segera merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait pengalihan aset perusahaan cangkang (Special Purpose Vehicle/SPV) yang tidak memiliki usaha aktif. “Masih banyak company yang menunda karena menunggu revisi PMK soal SPV,” katanya kepada Katadata, Rabu (28/9).
(Ikut Tax Amnesty, Pengusaha Kakap Janji Repatriasi Hartanya)
Kepala Ekonom Bank Central Asia, David Sumual melihat, Indonesia kemungkinan belum akan mengalahkan Italia dalam hal dana repatriasi. Nilai repatriasi di Italia mencapai 3,5 persen terhadap PDB, sedangkan Indonesia baru mendekati dua persen terhadap PDB.
Namun, pencapaian itu dinilai sudah sangat baik karena diperoleh dari periode pertama amnesti pajak. Pencapaian tersebut juga sudah melampaui sejumlah negara lain, yang rata-rata hanya berhasil menarik dana pulang kurang dari satu persen terhadap PDB.
Salah satu penyebab rendahnya dana repatriasi, menurut David, rata-rata harta luar negeri milik warga Indonesia berbentuk aset tetap (fixed asset) seperti properti. Alhasil, kebanyakan wajib pajak hanya mendeklarasikan hartanya saja, tidak merepatriasi. “Kalau Italia itu banyak uang mafia dan money laundering,” katanya.
Selain mendorong repatriasi, pemerintah juga dinilai perlu menggaet Usaha Kecil dan Menengah (UKM) untuk ikut program tax amnesty. Prastowo mengatakan, porsi ekonomi informal Indonesia sekitar 18-20 persen terhadap PDB. “Artinya ada Rp 2.000 triliun sampai Rp 2.500 triliun. Besar sekali,” kata dia.
Menurut dia, pemerintah perlu menyusun strategi agar UKM tidak menganggap pajak sebagai beban. Caranya, UKM harus diintegrasikan dulu ke ekonomi formal agar mendapat insentif bisnis. Setelah tumbuh, baru UKM membayar pajak. “Pemerintah harus mulai dengan insentif tentang apa yang bisa diberikan ke mereka, sehingga trade off-nya mereka nanti bayar pajak,” kata Prastowo.