Kargo Domestik Tak Laku, Kementerian Energi Tolak Impor LNG
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menolak rencana impor gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG) sebagai salah satu upaya menurunkan harga gas di dalam negeri. Alasannya, masih banyak kargo LNG dalam negeri yang belum laku.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan, impor kemungkinan baru akan dilakukan tahun 2019 karena produksi gas tidak lagi bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri. “Tapi, saat ini kami belum akan memberi izin impor karena kelebihan pasokan,” katanya usai rapat dengan Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Kamis (20/10).
(Baca: Pemerintah Cari Pembeli 11 Kargo Gas Alam Cair)
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, saat ini ada sekitar 11 kargo LNG jatah dalam negeri yang belum ada pembelinya. Jumlah ini akan meningkat tahun depan, yakni mencapai 63 kargo. Kargo gas itu berasal dari Kilang Bontang di Kalimantan Timur dan Kilang Tangguh di Papua Barat.
Menurut Wiratmaja, kargo LNG tersebut tidak terserap bukan karena kelebihan produksi, tapi kemampuan penyerapan di dalam negeri rendah. Kebutuhan LNG untuk pembangkit listrik memamg tinggi, tapi saat ini baru sedikit pembangkit yang sudah beroperasi. Sisanya masih dalam masa lelang dan belum terbangun, sehingga belum bisa menyerap gas.
Untuk itu, pemerintah terus berusaha mencari pembeli kargo gas yang tidak berkontak tersebut. Dari 63 kargo LNG tersebut, sebanyak 13 kargo tengah ditawarkan kepada pembeli. "Kami inginnya existing buyer," katanya.
Di sisi lain, pemerintah tengah menyiapkan opsi lain untuk menurunkan harga gas untuk industri. Penurunan harga gas ini melalui dua sisi, yakni hulu dan hilir. (Baca: Beberapa Skenario Penurunan Harga Gas Versi Kementerian Energi)
Di sisi hulu, pemerintah akan melakukan formulasi ulang harga gas hulu dari fix+excalation atau tidak terpengaruh terhadap harga minyak menjadi hybrid (fix+linked Oil/Product Price) atau mempertimbangkan harga minyak. Dengan begitu, risiko yang ditanggung pemerintah dan kontraktor seimbang saat menghadapi fluktuasi harga minyak.
Selain itu, pemerintah akan mengaudit biaya operasi kegiatan usaha hulu migas, menyerderhanakan bisnis proses dan percepatan eksekusi proyek untuk mengurangi pembebanan premi risiko proyek. Cara lainnya, mereformulasi kebijakan pemanfaatan hasil pengelolaan sumber daya alam, dan reformasi dari sumber pendapatan ke penggerak ekonomi.
(Baca: Berpacu Mengurai Ruwetnya Masalah Harga Gas)
Sementara di sisi hilir, Kementerian Energi pun mengajukan tiga langkah, yaitu pengaturan tarif penyaluran gas bumi, mekanisme pengaturan tarif penyaluran, dan pengaturan margin niaga. Untuk usulan pengaturan tarif penyaluran gas bumi, Kementerian Energi membedakan antara badan usaha yang memiliki infrastruktur dan badan usaha yang sewa eksklusif infrastruktur.