Tahan Bunga Rendah, Bank Sentral Amerika Dicurigai Main Politik
Bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve, ikut terseret pertentangan politik negara tersebut menjelang pemilihan presiden. Calon presiden dari Partai Republik, Donald Trump, menuding The Fed telah bermain politik karena terus mempertahankan suku bunga dana acuan Fed rate. Padahal, sejak Mei lalu, para petingginya selalu mengisyaratkan rencana kenaikan suku bunga dalam waktu dekat.
Seperti diberitakan USA Today, Trump menuding Kepala The Fed Janet Yellen mempertahankan kebijakan suku bunga rendah untuk membuat Presiden Barrack Obama terlihat baik dan membantu calon presiden dari Partai Demokrat, Hillary Clinton untuk memenangkan pemilu. Trump bahkan mengancam bakal mengganti Yellen jika ia terpilih jadi presiden.
Yellen tentu saja menyangkal tudingan Trump. Ia menegaskan bank sentral bersifat independen. Pertemuan-pertemuan The Fed tidak pernah membahas masalah politik. Selain itu, pertimbangan politik tidak pernah berperan dalam pengambilan keputusan-keputusan bank sentral AS.
Yellen juga menepis kritik dari anggota parlemen Partai Republik bahwa dukungan dana sebesar US$ 2.700 dari gubernur The Fed Lael Brainard untuk dana kampanye Hillary dan sarat konflik kepentingan. (Baca juga: Tunggu Tiga Faktor, Bunga Acuan BI Diprediksi Tetap)
Medio September lalu, The Fed memang mempertahankan suku bunga acuan di level 0,25-0,5 persen. Level ini telah berlangsung selama sembilan bulan alias sejak Desember tahun lalu. Kalau suku bunga acuan dinaikkan maka bakal mengerek bunga simpanan dan kredit perbankan di Amerika. Hal ini tentu tidak diinginkan masyarakat di tengah masih lesunya ekonomi.
The Fed bakal kembali menentukan kebijakan suku bunga melalui pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 2 November mendatang. Waktu itu hanya enam hari sebelum pemilihan presiden digelar pada 8 November 2016.
Salah satu pendiri Bespoke Investment, Paul Hickey mengatakan, kenaikan suku bunga sebelum pemilu presiden bakal mematahkan tudingan bahwa The Fed telah berpolitik. Keputusan tersebut bakal menunjukkan independensi bank sentral dan kembali mendorong wacana bank sentral yang tidak berpolitik.
Namun, Senior Fixed Income Strategist Wells Fargo Securities Boris Rjavinski meyakini The Fed bakal lebih mendasari keputusannya pada data ekonomi ketimbang pertimbangan politik. Ia pun menilai, bank sentral tidak akan menaikkan suku bunga hanya untuk menunjukkan independensinya.
(Baca juga: Bank Indonesia Jaga Stabilitas Rupiah Jelang Pemilihan Amerika)
“Untuk menaikkan (suku bunga) di November, mereka (The Fed) akan melihat seberapa kuat data (ekonomi) antara sekarang sampai pertemuan 2 November nanti,” kata dia seperti dikutip USA Today, Senin lalu (17/10).
Belakangan, sinyal kenaikan suku bunga kembali datang dari Presiden Fed New York William Dudley. Salah satu petinggi berpengaruh The Fed ini mengatakan, kenaikan bunga acuan 0,25 persen tahun ini “bukan perkara besar”. Sebab, target-target ekonomi sudah hampir tercapai, yaitu inflasi 2 persen dan angka ketenagakerjaan yang maksimal dan stabil.
“Jika ekonomi tetap dalam jalur, saya pikir kita akan melihat kenaikan suku bunga acuan tahun ini,” ucapnya, seperti dikutip Reuters, Kamis (19/10).
Jika melihat prediksi terakhir, sebanyak 17 pembuat keputusan berharap kenaikan suku bunga bakal terjadi sebelum akhir tahun. Adapun para ekonom dan trader berharap The Fed kembali mempertahankan suku bunganya dalam pertemuan sebelum pemilu November nanti. Tapi, mereka berharap suku bunga dinaikkan pada Desember.
(Baca juga: Fed Tahan Bunga, Indeks Harga Saham Berpotensi Cetak Rekor)
Sekadar catatan, bagi negara ekonomi berkembang, termasuk Indonesia, kenaikan suku bunga The Fed dikhawatirkan bakal mendorong keluarnya dana asing dari pasar keuangan (capital outflow). Dana asing bakal mengalir ke aset-aset bermata uang dolar Amerika.
Sebelumnya, Ekonom dari Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih memprediksi keputusan The Fed bakal menekan rupiah ke level 13.380 – 13.400 per dolar AS, didorong oleh arus keluar modal asing, utamanya di pasar saham. Namun, ia melihat kemungkinan dana masuk tetap akan lebih besar dari dana keluar (net inflow).
Ia pun menduga The Fed baru akan menaikkan suku bunga pada Desember nanti lantaran alasan politik. “Melihat sebelum-sebelumnya, The Fed kemungkinan tidak akan mengambil kebijakan dulu, karena ada kekhawatiran mempengaruhi pemilihan presiden," kata Lana.