Efek Trump, Bursa Saham Indonesia Paling Anjlok di Asia
Sejumlah bursa saham utama di kawasan Asia masih tertekan pada perdagangan Senin (14/11) ini. Bahkan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) menderita penurunan paling dalam di antara indeks bursa saham lainnya di Asia.
Pada penutupan perdagangan sesi pertama, Senin siang, IHSG anjlok 2,6 persen hingga berada di ambang level 5.000-an. Penurunan tersebut melanjutkan pelemahan pada akhir perdagangan pekan lalu, yaitu IHSG merosot 4,01 persen.
IHSG bergerak di rentang 5.043 sampai 5.231, dan ditutup anjlok di level 5.094. Penurunan juga terjadi di sejumlah indeks Asia. Hal tersebut tergambar dari indeks MSCI AC Asia Pacific kecuali Jepang, yang terus melaju di jalur merah dengan penurunan sebesar 0,94 persen.
Secara rinci, indeks Thai Set 50 di Thailand turun sebesar 1,17 persen, indeks Hang Seng di bursa Hong Kong melorot 1,14 persen, indeks PSEi di bursa Filipina 1,12 persen, indeks FTSI di bursa Malaysia turun 0,92 persen, dan indeks Straits Times di Singapura 0,83 persen.
(Baca juga: Dana Asing Hengkang dari Asia, Indeks Bursa Saham Melorot)
Adapun indeks Kospi di Korea melorot 0,31 persen, indeks HNX Index di Vietnam turun 0,44 persen, dan indeks Taiex di Taiwan tergerus 0,13 persen. Sebaliknya, indeks Topix dan indeks Nikkei 225 di bursa Jepang naik masing-masing 1,50 persen dan 1,63 persen. Demikian juga indeks CSI 300 di Cina naik 0,49 persen.
Sebelumnya, tim riset dari OSO Securities memperkirakan, IHSG akan mengalami teknikal rebound pada perdagangan Senin ini setelah melemah cukup dalam pada perdagangan pekan lalu. “Kami perkirakan IHSG akan bergerak di kisaran 5.201 – 5.348,” demikian tertulis dalam rilis OSO Securities yang diterima Katadata.
Sekadar catatan, IHSG memimpin pelemahan indeks di bursa Asia pada perdagangan Jumat (11/11) dengan penurunan sebesar 4,01 persen, lalu diikuti Taiwan yang melemah sebesar 2,12 persen. (Baca juga: Investasi Asing Kerek Neraca Pembayaran Surplus US$ 5,7 Miliar)
Tim riset OSO mejelaskan, koreksi tajam yang terjadi pada akhir pekan lalu merupakan respons pelaku pasar atas terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS). “Pelaku pasar berekspektasi akan terjadi ketidakstabilan di pasar keuangan, sehingga lebih memilih untuk mengalihkan asetnya kepada aset safe haven,” begitu pernyataannya. Aset safe haven yang dimaksud adalah obligasi pemerintah AS.
Tim OSO menyebut, pelaku pasar asing mencatatkan penjualan bersih atau nett sell di bursa saham sebesar Rp 2,5 triliun.