Penerimaan Negara Terancam Makin Seret Tahun Depan
Pemerintah masih mengandalkan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara tahun depan. Target pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 sebesar Rp 1.271,1 triliun, naik 15 persen dibandingkan tahun ini. Namun, ekonom meragukan target itu bisa tercapai sehingga defisit anggaran membengkak dan bisa mengganggu target pertumbuhan ekonomi.
Chatib Basri, ekonom yang juga mantan Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meminta pemerintah mewaspadai risiko tekanan terhadap defisit anggaran yang lebih besar pada tahun depan. Ada beberapa faktor yang mendasari penilaiannya tersebut.
Pertama, hanya sebagian kecil dari harta yang diikutsertakan dalam program pengampunan pajak (tax amnesty) yang bisa dipajaki pada tahun ini. Hingga kini, total nilai pelaporan harta mencapai Rp 3.926 triliun, yang terdiri atas deklarasi dalam negeri Rp 2.799 triliun, deklarasi luar negeri Rp 984 triliun, dan repatriasi Rp 143 triliun.
(Baca: Ditjen Pajak Prediksi Tebusan Tax Amnesty Periode II Lebih Kecil)
Jika dihitung berdasarkan return on asset (ROA) yang merupakan sumber perpajakan, maka hanya Rp 200 triliun dari total hampir Rp 4.000 triliun itu yang bisa dipajaki oleh pemerintah tahun depan. “Hitung saja ROA lima persen dari sekitar Rp 4.000 triliun, berarti hanya Rp 200 triliun yang bisa dipajaki pemerintah,” kata Chatib saat acara Economic Outlook oleh UOB di Jakarta, Rabu (16/11).
Kedua, penerimaan pajak tahun ini terbantu oleh tambahan dari uang tebusan program amnesti pajak senilai Rp 98,3 triliun. Jika uang tebusan amnesti pajak itu tidak ada maka penerimaan pajak tahun ini hanya tumbuh 0,84 persen dibanding tahun lalu.
Karena itu, menurut Chatib, pemerintah harus memastikan adanya peningkatan wajib pajak baru sehingga basis pajak bertambah pajak. Dengan begitu, akan menjadi sumber baru pajak tahun depan. (Baca: Sisa Dua Bulan, Realisasi Penerimaan Pajak Baru 64 Persen)
“Yang terjadi saat ini ada arbitrase kepintaran wajib pajak menghindari (tarif pajak) 25 persen, menjadi hanya dua persen. Ini ada problem karena ruang fiskal jadi terbatas sehingga Menteri Keuangan Sri Mulyani memotong anggaran,” ujar dia.
Ketiga, minimnya jumlah penambahan wajib pajak baru. Per September lalu, jumlah wajib pajak baru dari hasil amnesti pajak mencapai 8.412 wajib pajak. Chatib khawatir jika jumlah wajib pajak baru tidak banyak, maka bisa menggerus potensi penerimaan pajak tahun depan.
Keempat, pemerintah perlu mempercepat perbaikan sistem perpajakan. Tujuannya untuk memaksimalkan data wajib pajak dari hasil amnesti pajak sehingga berperan mendorong penerimaan pajak.
“Salah satu keunggulannya adalah punya data karakteristik dari tax payer, ini bisa dimanfaatkan Direktorat Jenderap Pajak (DJP),” katanya. Tanpa berbagai upaya tersebut, Chatib menilai, pemerintah harus berhati-hati terhadap kemungkinan kenaikan defisit anggaran. Kondisi itu akan memengaruhi potensi pertumbuhan ekonomi tahun depan.
(Baca: Pemerintah Bidik Setoran Pajak dan Bea Cukai Naik di Akhir Tahun)
Sekadar informasi, per September lalu penerimaan perpajakan sebesar Rp 896,1 triliun, yang terdiri dari pajak Rp 792,4 triliun serta bea dan cukai Rp 103,7 triliun. Khusus untuk pajak, pada Oktober lalu mencatatkan kenaikan 13,3 persen dibanding periode sama tahun lalu.
Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan DJP Yon Arsal optimistis penerimaan pajak bisa mencapai target hingga akhir tahun karena adanya tax amnesty.