Ekonomi Dunia Tak Menentu, BI Tahan Suku Bunga Acuan
Seperti sudah diperkirakan para analis dan ekonom, Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Day Repo Rate di level 4,75 persen. Keputusan ini berdasarkan penilaian menguatnya tekanan pasar dan perekonomian dari luar negeri. Padahal, sebelumnya BI agresif menggunting suku bunga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, kondisi eksternal semakin tidak pasti. Apalagi bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve, kemungkinan akan menaikkan suku bunga acuannya (Fed Fund Rate) akhir tahun ini. Langkah ini seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran di AS yang diperkirakan membaik serta kenaikan inflasi.
Di sisi lain, terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS juga telah menimbulkan gejolak di pasar keuangan dunia. Dolar AS menguat terhadap banyak mata uang dunia, termasuk rupiah. BI mencatat, rupiah melemah 2,23 persen pada periode 8-16 November lalu. Meski begitu, BI mengklaim pelemahan rupiah tak sebesar mata uang negara lain yang pasarnya tengah berkembang (emerging market).
“Setelah ada hasil pemilihan presiden di AS, memang menimbulkan cukup banyak ketidakpastian dan juga dalam perkembangan ekonomi AS yang cenderung membaik terkonfirmasi bahwa akan ada kenaikan Fed Rate sekali di Desember,” kata Agus dalam konferensi pers hasil rapat Dewan Gubernur BI di Jakarta, Kamis (17/11).
Menurut dia, kondisi eksternal ini jadi fokus bahasan dalam rapat dewan gubernur kali ini sehingga memutuskan menahan bunga acuan. Tekanan dari eksternal tersebut diprediksi akan berlanjut tahun depan. (Baca juga: Risiko Pasar Meningkat, BI Diprediksi Tahan Bunga Acuan)
Adapun kondisi internal diklaim cukup baik. Hal itu terlihat dari inflasi dan defisit transaksi berjalan (Current Account Defisit/CAD) yang terkendali. Sampai akhir tahun ini, inflasi diperkirakan berada pada kisaran 3-3,2 persen. Sedangkan defisit transaksi berjalan diprediksi mencapai dua persen.
Agus memandang pelonggaran kebijakan moneter dan makroprudensial yang telah dilakukan sebelumnya dapat menjaga momentum pertumbuhan ekonomi domestik. Seperti diketahui, suku bunga acuan dan Giro Wajib Minimum (GWM) sudah dipangkas BI sebesar 1,5 persen sejak awal tahun.
Ke depan, BI akan terus melakukan koordinasi kebijakan dengan pemerintah untuk menjaga kecukupan likuiditas dan memperkuat stimulus pertumbuhan. Koordinasi juga dilakukan untuk memastikan pelaksanaan reformasi struktural berjalan dengan baik, sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Selain menahan BI 7-Day Repo Rate di level 4,75 persen, BI juga menahan suku bunga fasilitas simpanan (deposit facility) dan fasilitas pinjaman (lending facility) di level 4 persen dan 5,5 persen.
Kebijakan BI ini sudah diprediksi sejumlah ekonom. Ekonom Maybank Juniman mengatakan, selain mempertimbangkan gejolak di pasar keuangan dan kenaikan Fed Fund Rate, BI juga mempertimbangkan nilai real interest rate yang sudah lebih rendah dari nilai risiko investasi.
Ia mengatakan, saat ini, nilai real interest rate yang sebesar 1,44 persen sudah lebih rendah dibandingkan credit default swap (CDS) Indonesia bertenor lima tahun sebesar 1,9 persen. Sebagai informasi, real interest rate atau suku bunga riil adalah nilai yang dipakai investor untuk mengukur keuntungan. Real interest rate didapat dari selisih BI 7-Day Repo Rate dengan inflasi saat ini.
Sedangkan CDS merupakan alat ukur risiko investasi. Semakin rendah nilainya, maka risikonya semakin kecil. Dengan risiko yang lebih besar daripada return dapat membuat investor asing kurang tertarik berinvestasi di Indonesia. (Baca juga: ASEAN Siapkan Penyangga Ekonomi Hadapi Guncangan Efek Trump)
"Kalau BI menurunkan BI 7-Day makin tidak menarik lagi," kata Juniman kepada Katadata, Rabu (16/11). Hal itu berpotensi mengancam pasar obiligasi dan saham di dalam negeri seiring hengkangnya dana investor asing ke luar negeri (capital outflow).
Sementara itu, Ekonom dari Bank Permata Josua Pardede berpendapat, langkah BI menahan bunga acuan tidak akan berpengaruh banyak terhadap minat investor untuk tetap berinvestasi di Indonesia. Sebab, menurutnya, investor tidak hanya mempertimbangkan real interest rate. Investor lebih mementingkan fundamental ekonomi dan stabilitas makro.
"Menurut saya effective policy rate bukanlah satu-satunya pertimbangan bank sentral terkait kebijakan moneter untuk tetap mengelola investor asing agar tetap berinvestasi di Indonesia," ujar Josua.
Namun, Josua menilai tepat langkah BI menahan bunga acuan. Sebab, ekspektasi inflasi pada 2017 cenderung meningkat di kisaran 4 sampai 4,5 persen. Hal itu seiring dengan kenaikan harga-harga yang diatur pemerintah.