Langkah Sri Mulyani Pangkas Belanja Mampu Cegah Trump Tantrum
Kebijakan pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani memangkas anggaran belanja negara pada Agustus lalu dinilai telah berhasil meredam gejolak di pasar keuangan. Jika pemotongan belanja hingga Rp 137 triliun itu tidak dilakukan, dana asing yang keluar (capital outflow) dari Indonesia terancam lebih besar.
Chatib Basri, Menteri Keuangan periode 2013-2014, menilai Indonesia beruntung tidak sempat menghadapi kemungkinan terjadinya Taper Tantrum kedua atau Trump Tantrum pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada awal November lalu.
Istilah ini merujuk pada sebuah gejolak di pasar keuangan global pada 2013 setelah bank sentral AS, The Federal Reserve, mengurangi stimulus pembelian surat berharga di pasar. Hal ini menyebabkan dana asing keluar dari pasar negara-negara berkembang dan memperkuat mata uang dolar AS.
Menurut Chatib, bahaya itu bisa dicegah lantaran pemerintah sudah lebih dahulu memangkas belanja sehingga anggaran negara lebih kredibel. “Bayangkan kalau anggaran tidak dipotong, (terjadi) masalah defisit fiskal sehingga pasti outflow lebih besar dan itu persis yang terjadi ketika 2011. Pelajaran seperti ini penting untuk ke depan,” ujarnya saat acara seminar nasional bertajuk “Tantangan Dari Masa ke Masa” di Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (30/11).
(Baca: Belanja Dipotong, Sri Mulyani Yakin Defisit Tak Lampaui 2,7 Persen)
Chatib melongok ke belakang saat menjabat sebagai Menteri Keuangan pertama kali langsung dihadapkan dengan keputusan untuk menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Padahal, menurut dia, waktu yang tepat untuk melakukan kebijakan tersebut semestinya pada 2011.
Ia menilai, pada saat itu defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) sudah mulai menunjukkan peningkatan. Jadi, bakal lebih aman jika menaikkan harga BBM tahun 2011 karena tidak menganggu fiskal atau anggaran negara. “Seharusnya kebijakan fiskal dan moneter lebih ketat guna menjaga stabilitas makro ekonomi.”
Akibat keterlambatan melakukan kebijakan tersebut, arus keluar dana asing lebih besar pada 2013. Sebab, Gubernur the Fed saat itu, Ben Bernanke, mengumumkan ada ruang untuk menarik kembali likuiditas di pasar (tapering). Pernyataan tersebut kemudian membuat pasar goyah dan dana kembali ke AS yang dikenal dengan istilah Taper Tantrum.
Meski begitu, pemerintah tetap melakukan pengurangan subsidi energi dengan menaikkan harga BBM. Tujuannya untuk mengembalikan kredibilitas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga investor percaya terhadap perekonomian Indonesia.
“Kalau belajar dari 2013 waktu itu Taper Tantrum, kredibilitas fiskal menjadi sangat penting itu adalah anchor. Ketika harus di-cut untuk mengembalikan kredibilitas,” kata Chatib. (Baca: Sepekan Efek Trump, BI: Rp 16 Triliun Keluar dari Indonesia)
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual juga mengatakan, langkah pemotongan anggaran oleh Sri Mulyani berhasil menjaga Indonesia terhadap dampak lebih besar dari Trump Effect. Ia pun menilai anggaran saat ini sudah cukup kredibel dan kuat untuk menghadapi tantangan yang mungkin timbul ke depan.
“Saya tidak bisa membayangkan kalau, misalnya, belum memotong APBN sedahsyat yang kemarin, terus ada Trump Effect ini. Jadi saya pikir Indonesia sudah antisipatif, sudah lebih bagus APBN-nya,” kata David.
Ia memperkirakan, nilai tukar rupiah akan berada pada posisi 13.300 hingga 13.600 per dolar AS di akhir tahun. Sedangkan pada awal tahun depan, rupiah bisa berada pada posisi 13.380 per dolar AS.